Oleh : Pebi (Sosiologi Universitas Bangka Belitung)
Beberapa hari yang lalu, Kemedikbud, Nadiem Makarim mengumumkan bahwa SMK dan Perguruan Tinggi di seluruh zona sudah diperbolehkan untuk melakukan sekolah tatap muka, tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan yang benar dan tepat,yakni mengunakan masker dan hand sanitizer, mencuci tangan dan juga menjaga jarak.
Pembelajaran tatap muka untuk smk dan perguruan tinggi yang dimaksud, pembelajaran dengan praktik sedangkan pembelajaran teori tetap secara online .
Namun pemerintah sendiri belum mempersiapkan peralatan protokol yang memadai untuk melakukan pembelajaran pratik di tengah pendemi ini, ditambah lagi pelaksanan pembelajaran tatap muka ini untuk memenuhi desakan, yang belum melakukan persiapan agar dapat meminimalisirkan risiko terjadinya penularan.
Sementara untuk SD, SMP dan SMA pada wilayah zona
kuning dan zona hijau sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Walaupun dengan mengunakan sistem rotasi, melakukan shifting, SD, SMP, SMA 50% dari jumlah siswa tiap kelas. Juga dengan adanya kesepakatan antara orang tua dan pihak sekolah dengan di laksanakanya pembelajaran tatap muka.
Menurut, Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPAI), Arist Merdeka Sirait yang memberikan tanggapan terkait rencana pembelajaran tatap muka.
Dilansir dari TRIBUNNEWS.COM
Arist menilai keputusan dari Kemendikbud ini, belum tepat waktunya, karena mengingat resiko tertular masih ada, terlebih lagi pada wilayah zona kuning. Dan jika dinilai melalui sudut pandang siswa, terutama pada siswa Sekolah Dasar yang masih kekanak-kanakan. Apalagi Dunia seumur mereka adalah dunia bermain.
Siapa yang akan menjamin tidak terjadinya penularan?
Namun, memang Pembelajaran tatap muka menjadi tuntunan dan harapan banyak pihak, baik dari siswa itu sendiri maupun orang tua. Dimana agar tercapainya target pembelajaran dan untuk menghindari diri dari belajar jarak jauh yang membosankan dan melelahkan terutama banyaknya tugas ditambah lagi tidak paham dan mengertinya siswa dari pembelajaran yang diberikan.
Namun akan lebih baik wancana ini di pertimbangkan lagi, apalagi akan terjadi risiko lebih besar, bukannya tidak boleh tapi waktunya belum tepat, covid-19 masih berkeliaran di mana-mana.
Tapi apakah sudah tepat pembelajaran tatap muka di tengah pendemi menjadi solusinya?
Karena kita semua tahu sudah banyak yang menjadi korban dari keganasan Covid-19. Apalagi korbanya meninggal tanpa memperlihatkan kejala atau orang tanpa kejala covid-19.
Seharusnya di pertanyakan peran pemerintah yang justru terkesan memaksakan dan lebih memilih mempertaruhkan risiko bahkan nyawa menjadi korbannya. Yang seharusnya yakni peran pemerintah dalam kondisi saat ini adalah memikirkan bagaimana caranya untuk memudahkan pembelajaran jarak jauh/ online yang tentunya memiliki risiko tertular terbilang rendah dari pada tatap muka, karena siapa yang akan menjamin tidak tertular?
Jika memang belum ada persiapan yang matang jangan memaksakan.
Pemerintah juga merespon dengan kebijakan Sporadis, tidak terarah dan memenuhi desakan publik tanpa diiringi persiapan yang memadai agar dapat meminimalisirkan risiko yang akan terjadi.
Yakni di tengah pendemi, dana yang dikeluarkan pemerintah cukup besar yang didapatkan dari dana bos untuk keperluan kouta internet yang akan dibagikan ke pelajar, tapi masalah pada sebagian wilayah yang tidak adanya jaringan internet tidak dicarikan solusi. Terkadang banyaknya siswa kesulitan dan mati-matian untuk mencari jaringan untuk tetap dapat mengikuti pembelajaran.Nah, jadi untuk apa kouta internet yang dibagikan sedangkan pemerintah tidak mencari solusi dari tidak memadainya jaringan?
Pemerintah juga berubah-ubah dan ling lung dalam menentukan kebijakan yang tepat, terkait kebolehan tatap muka di zona kuning dan zona hijau. Masyarakat dibuat lama menunggu dengan ketidak pastinya kebijakan yang akan diterapkan pemerintah dalam kondisi pendemi saat ini. Pemerintah lama tanpa kejelasan dalam menentukan yang tepat dan tanpa arah.
Inilah sebuah fakta dan bukti yang menunjukan lemahnya pemerintahan sekuler dalam mengatasi masalah pendidikan di tengah pendemi, apalagi pemerintahan sekuler yang didasarkan untung dan rugi, tanpa mencari solusi. Dan ini juga menjadi sebuah akibat dari sistem sekuler yang tersenderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi dan tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publick yang wajib dijamin dan terpenuhi oleh penyelenggaranya (Negara).
Yang seharusnya hak pendidikan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi dan menjamin pendidikan yang layak dan memadai bagi seluruh rakyat . Namun jika melihat fakta yang terjadi malah sebagaian rakyat dibuat seolah-olah rakyat sendiri yang mati-matian untuk memenuhi hak pendidikan yang layak untuk dirinya sendiri yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya negara.
pendidikan yang layak dapat diperoleh semua rakyat tanpa kecuali secara gratis alias tanpa dipungut biaya sedikit pun, dalam sistem islam hal ini bisa terwujudkan, bahkan pendidikan yang memadai akan dijamin oleh pemerintah sistem islam, bukan hanya dalam bidang pendidikan saja tapi kesehatan juga akan dijamin tanpa mengeluarkan uang sedikit.
Zholimnya pemerintahan sekuler ini dalam dunia pendidikan benar-benar nyata. Dalam keadaan saat ini ( Covid-19) pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan tepat agar tidak merugikan atau menghilangkan pihak lain, tanpa memikirkan urusan diri sendiri. Sistem sekuler memang tak akan melihat sisi apa akibat untuk orang lain tapi yang dilihat apa yang menjadi untung untuk diri sendiri.
Namun Islam telah dulu memberikan solusi yang cepat dan tepat dalam menangani Covid-19. Karena sistem islam berasal dari yang Sang Pencipta manusia dan berasal dari Maha Tahu, yang lebih tahu apa yang menjadi solusi terbaik untuk umatnya.
Hanya kembali ke sistem islam lah apa yang menjadi hak rakyat akan terjamin, bahkan solusi dari masalah kehidupan yang terjadi pada munisa sudah ada, tinggal kita umat manusia untuk menjalaninya.