Monica Romauli Situmeang
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Kepailitan mungkin lebih banyak dikenal kalangan masyarakat, meskipun tidak secara dalam kenapa dan bagaimana sebuah perusahaan itu dinyatakan pailit secara hukum. Namun lain halnya dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), masih banyak masyarakat yang mempertanyakan apa itu PKPU meskipun kedua hal ini memiliki keterkaitan dan berada dalam satu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Pailit merupakan sebuah keadaan dimana seorang debitor tidak mampu membayar utang hingga melewati jatuh tempo. Pailit sangat berbeda dengan bangkrut, bangkrut adalah keadaan rugi meskipun tidak memiliki utang. Sedangkan PKPU adalah upaya perdamaian yang ditawarkan debitor untuk menyelesaikan utang-utang tersebut agar tidak dinyatakan pailit. Untuk penjelasannya mari kita simak penjelasan singkatnya berdasarkan UU 37/2004.

Kreditor atau Debitor sendiri melalui kuasa hukumnya bisa mengajukan permohonan pailit maupun PKPU kepada Pengadilan Niaga yang hanya ada di 5 Pengadilan Negeri di Indonesia (PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Makassar, PN Semarang, dan PN Surabaya). Permohonan ini diajukan terhadap debitor yang memiliki lebih dari 1 Kreditor yang memiliki tagihan sudah jatuh tempo dan dapat ditagihkan. Permohonan bisa langsung permohonan pailit kepada Debitor dengan kemungkinan munculnya proses PKPU didalamnya, ataukah mengajukan permohonan PKPU yang berpotensi pada akhirnya pailit jika tidak terjadi kesepakatan. Jika sekilas masyarakat memandang bahwa proses ini sama, namun sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat prinsip terkait konsekuensi hukumnya.

Proses hukum jika melalui permohonan pailit, maka setelah dinyatakan pailit oleh Majelis Hakim, pengadilan akan memilih dan menetapkan Kurator serta Hakim Pengawas untuk pemberesan aset sebagai boedel pailit serta mengumpulkan para kreditor dan menghitung seluruh tagihan kreditor.

Sedangkan proses hukum jika melalui permohonan PKPU, maka setelah dinyatakan Debitor dalam masa PKPU oleh Majelis Hakim, pengadilan akan menetapkan Pengurus dan Hakim Pengawas untuk mengumpulkan Kreditur dan melakukan penghitungan jumlah tagihan serta meminta Debitor untuk menyampaikan proposal perdamaian yang berisi skenario penyelesaian semua tagihan.

Untuk mengumpulkan seluruh Kreditor dan menetapkan jumlah tagihan, kurator atau pengurus harus mengumumkan putusan pailit atau PKPU di 2 surat kabar yang terdiri dari 1 surat kabar nasional dan 1 surat kabar lokal. Kemudian setelah semua Kreditor menyampaikan tagihannya, kurator atau pengurus akan melakukan pencocokan tagihan dengan utang yang diakui oleh Debitor, hingga didapatkan jumlah tagihan tetap yang akan ditetapkan oleh majelis hakim.

Dalam proses pailit, Debitor memiliki hak untuk menyampaikan perdamaian kepada kreditor dalam maksimal 8 hari sebelum diselenggarakan rapat pencocokan piutang. Sedangkan dalam proses PKPU, Debitor memiliki waktu untuk menawarkan dan membahas proposal perdamaian melalui Rapat Kreditor selama 45 hari (masa PKPU Sementara) dan diperpanjang hingga 270 hari (masa PKPU Tetap). Kreditor memiliki hak untuk sepakat atau tidak sepakat dengan skema perdamaian (homologasi) yang ditawarkan debitor baik secara aklamasi maupun voting. Mungkin sekian yang bisa saya sampaikan terkait perbedaan antara Kepailitan dan PKPU semoga bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan saudara/saudari.

(Monica Romauli Situmeang/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *