Nadya Anggraini
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Kata kepailitan sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Biasanya kepailitan ini menjadi alternatif terakhir antara debitor dan kreditor dalam penyelesaian masalah atau sengketa utang piutang. Menurut Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 ada dua syarat kepailitan, yakni: Pertama, ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan “Kreditor” di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Kedua, ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase dan kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.

Mengutip dalam wawancaranya Hotman Paris Hutapea berpendapat implementasi Undang-Undang Kepailitan 2004 malah tak semudah yang dibayangkan. “Justru lebih berat dari Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998. Padahal, krisis moneter sudah lewat” kata Hotman dalam acara Pertemuan Para Ahli Hukum tentang UU Kepailitan di Jakarta, kemarin.

Hotman berpendapat substansi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan hakekat dari hukum kepailitan. Undang-Undang Kepailitan seolah menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha dari debitor. Hotman mencatat setidaknya ada enam kesalahan fatal dalam UU Kepailitan dan PKPU. Prakteknya, bisa timbul masalah ketika kreditor lain yang bukan pemohon pailit dan tagihannya sudah jatuh tempo atau belum jatuh tempo tidak berniat untuk melakukan tindakan hukum (mempailitkan debitor).

“Akibatnya para kreditor lain terpaksa ikut mendaftar sebagai kreditor,” imbuhnya. Jadi, permasalahnnya ialah pada persyaratan yang dia rasa kurang tepat pada pembuktian kepailitannya. Minimum pembuktian kepailitan dirasa cukup baik jika dibuktikan 75% kreditor memiliki piutang dan sudah jatuh tempo.

Pada dasarnya kepailitan tidak dapat dijadikan alasan pembenar agar tidak membayarkan hutang ataupun lalai dalam pembayaran hutang. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga dan sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit di laksanakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan atau 25 hari apabila debitur mengajukan permohonan berdasarkan alasan yang cukup. Ketika dilakukannya persidangan, Pengadilan Niaga memiliki wewenang.

(Nadya Anggaraini/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *