Thasia Avresta Jergi
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Dewasa ini, sedang ramai-ramainya terjadi developer (pengembang) mengalami kebangkrutan dalam hal perumahan maupun apartemen. Sejatinya, dalam terminologi hukum tidak mengenal apa yang disebut dengan bangkrut, melainkan biasa dikenal dengan istilah pailit atau kepailitan. Keadaan pailit merupakan sebuah ancaman yang bisa terjadi bagi setiap pelaku usaha, bahkan hal ini tidak hanya bisa terjadi pada perusahaan yang baru tumbuh, tetapi juga menjadi ancaman bagi perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun sekalipun.

Kepailitan ini umumnya adalah hal yang biasa terjadi dalam dunia usaha, dalam perkembangannya pun permohonan pailit kian meningkat. Pailit adalah suatu keadaaan dimana seorang debitur tidak mampu dan mengalami kesulitan dalam membayarkan sejumlah utangnya. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan & PKPU menyatakan bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dalam hal developer (pengembang) dapat dianggap pailit apabila dalam 2 (dua) atau lebih tagihan yang telah jatuh tempo atau dapat ditagih yang tidak dibayar oleh pengembang tersebut. Umumnya, kepailitan yang di alami oleh developer (pengembang) ini akan merugikan konsumen. Dan dengan terjadinya kepailitan ini seringkali disalahgunakan oleh para developer (pengembang) yang tidak bertanggung jawab untuk menghindari kewajibannya kepada konsumen.

Dalam webinar yang dilaksanakan di jakarta pada tanggal 18 september 2020, Erwin menyebutkan bahwa konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika kasus pailit terjadi. Hal ini karena konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan. Oleh karena itu, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka kerugian yang dialami konsumen wajib diselesaikan secara adil. Dan dalam hal ini, konsumen dinyatakan memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi sebagaimana mestinya sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam kedua pasal tersebut, setidaknya disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak dalam memilih, mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam perjanjian, serta berhak untuk mendapatkan kompensasi dan ganti rugi jika barang dan/atau jasa tersebut tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Dan dalam hal ini, pelaku usaha juga dilarang untuk memproduksi dan memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan iklan atau informasi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

Namun, tentunya perlu diketahui bahwa antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Kepailitan adalah dua peraturan yang memiliki cara penyelesaian yang berbeda. Oleh karena itu, menurut penulis diperlukan adanya aturan yang lebih lanjut antara kedua hal tersebut, yakni kepailitan dengan perlindungan konsumen ini, agar penyelesaian diantara kedua hal tersebut dapat diselesaikan dengan jelas, sehingga pelaku usaha yang berniat buruk serta tidak beritikad baik tidak lolos dari tanggung jawab yang seharusnya dilakukan, dan perlindungan bagi konsumen pun terjamin.

(Thasia Avresta Jergi/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *