Ainurnisa Handayani
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Kepailitan bukan lagi merupakan suatu hal yang baru terutama di dalam perundang-undangan di Indonesia. Kepailitan itu merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan juga pemberesan itu dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Dan kepailitan ini juga sering dikaitkan dengan permasalahan utang piutang antara pihak yang disebut juga sebagai debitor yang mempunyai piutang dengan pihak yang disebut juga sebagai kreditor.

Adapun hukum kepailitan yang sekarang ini ada didunia merupakan perkembangan dari hukum kepailitan zaman kuno terdahulu. Hukum kepailitan modern ini juga lebih memanusiakan manusia dibandingkan dengan hukum kepailitan yang dulunya pernah hadir didunia. Dan didalam kehidupan sehari-hari kenyataannya seringkali terjadi permasalahan-permasalahan, yaitu adanya ketidakmampuan debitor dalam memenuhi kewajibannya yaitu untuk membayar utangnya kepada kreditor.

Pailit atau kepailitan itu juga berawal dari ketidakmampuan membayar, tetapi dalam praktiknya sering menjadi ketidakmauan debitor untuk membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jika debitor itu berada pada kondisi demikian, maka debitor dan kreditor ataupun pihak lain yang ditentukan didalam peraturan perundang-undangan dapat juga mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, pernyataan pailit juga harus dengan putusan pengadilan.

Kepailitan juga pada intinya merupakan penyitaan umum berdasarkan Undang-Undang atas harta kekayaan debitor yang digunakan juga untuk membayar utang kepada para kreditor tersebut. Dan maksud dari kepailitan ini adalah untuk melikuidasikan aset atau juga harta kekayaan debitor agar membayar tuntutan kreditor yang memperhatikan juga penggolongan tuntutan tersebut sebagai konsekunesi dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Dan pernyataan pailit juga mempunyai pengaruh yang luas terutama dibidang harta kekayaan karena pernyataan pailit itu mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan juga mengurus harta kekayaan yang sudah dimasukkan ke dalam harta pailit sesuai ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kepailitan ini juga merupakan solusi dalam penyelesaian utang piutang antara debitor dan kreditor, dan penyelesaian sengketa antara debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif yang didasarkan atas Undang-undang Kepailitan yang sudah disempurnakan, yaitu Udang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu asas keadilan dan juga kepastian hukum merupakan dua prinsip yang dijadikan landasan dalam penyelesaian sengketa hukum termasuk juga sengketa khususnya itu berkaitan dengan masalah utang piutang melalui kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Ada juga keadilan hukum dalam pengertian formal yang memiliki arti bahwa semua orang itu berkedudukan sama di depan hukum dan tidak boleh diskriminasi. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berlaku juga bagi pihak debitor dan kreditor yang memilih untuk menyelesaikan masalah sengketa dengan cara-cara yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang Kepailitan. Serta digunakannya kepailitan itu sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengembalian utang oleh kreditor, dikarenakan kreditornya cukup banyak sedangkan untuk harta debitornya tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor. Maka dari itu memungkinkan para kreditor untuk berlomba-lomba dengan segala cara agar memperoleh pemenuhan piutang tersebut. Jika kreditornya itu hanya satu maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan juga hasil eksekusi atas harta debitor digunakan untuk membayar utang debitor tersebut.

Dan untuk tujuan utama dari kepailitan itu adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator. Kepailitan juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah ataupun eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan suatu sitaan bersama sehingga harta kekayaan itu dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan haknya masing-masing (Imran, 2005).

(Ainurnisa Handayani/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *