Umi Kalsum_Sosiologi UBB

Bangka Belitung merupakan kepulauan yang terkenal dengan kekayaan timahnya. Pulau ini merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia. Masyarakat di Bangka Belitung tidak bisa lepas dari peradaban timah karena telah berlangsung sejak lama dan turun-menurun. Sejak tahun 2000-an penambangan timah ilegal kian marak, hal ini dinilai dari dampak dikeluarnya kebijakan otda yang memperbolehkan masyarakat melakukan penambangan timah kapan saja dan dimana saja menyebabkan masyarakat berlomba-lomba terjun mencari timah. Dulu, Kepulauan Bangka Belitung terkenal dengan komoditi rempah-rempahnya seperti lada putih, namun akibat penurunan harga lada yang sangat drastis dan kondisi ekonomi nasional sedang krisis pada masa itu menyebabkan pemerintah terpaksa mengeluarkan peraturan yang melegalkan aktivitas tambang timah namun, harus sesuai dengan prosedur yang berlaku.


Dikeluarkannya otda memberikan peluang bagi para penambang liar untuk membuka usaha tambang timah tanpa memperhatikan dampak yang harus didapatkan baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Salah satunya dapat ditemukan di Desa Lampur, Bangka Tengah. Desa ini merupakan salah satu daerah populer bagi para penambang karena lokasinya yang strategis dan pernah menjadi daerah yang paling berjaya. Sudah sejak dulu kawasan ini menjadi simpul-simpul bagi para penambang timah. Hal ini dibuktikan dengan adanya bekas-bekas peninggalan yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Setelah ditinggalkan oleh PT. Timah Tbk, kawasan ini diambil alih oleh warga sekitar. TI telah menyebar luas hampir di seluruh desa, sekitar 70% penduduk membuka usaha TI sebagai pekerjaan sampingan.


TI merupakan istilah yang sering diucapkan oleh masyarakat Bangka Belitung, TI memiliki arti masyarakat yang tidak memiliki modal dan tidak memenuhi prosedur perizinan yang berlaku dalam membuka usaha tambang timah. Aktivitas penambangan timah dinilai mampu mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan mengembangkan alternatif pengganti ekonomi pasca timah. Dikhawatirkan nantinya apabila timah tidak tersisa lagi masyarakat Bangka Belitung mengalami kebingungan dalam mencari pengganti mata pencaharian dan menyebabkan masalah sosial.


Dampak dari adanya aktivitas penambangan timah di Desa Lampur, Bangka Tengah adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang sampai saat ini belum diatasi oleh pemertintah setempat. Banyaknya lubang-lubang bekas galian yang telah diisi air (kulong) menyebabkan tempat ini tak seindah dulu, jalan-jalan yang berlubang akibat sering dilintasi oleh transportasi yang membawa alat-alat berat memperparah keadaan dan munculnya sejumlah camp pendatang yang menyebabkan pengelolaan tata ruang berantakan.


Terdapat lima aktor yang terlibat dalam jaringan pertimahan di Desa Lampur yaitu pelimbang, penambang, kolektor smelter dan pengusaha timah. Aktor yang paling mencolok adalah masyarakat lokal atau penambang liar. Dampak dari adanya para penambang liar ini adalah bertambanhnya populasi penduduk yang heterogen, banyak para pendatang yang pindah jiwa ke desa ini. Selain memberikan dampak bagi lingkungan, adanya aktivitas penambangan timah berdampak pada aspek sosial yaitu tingginya angka putus sekolah. Banyak sekali anak-anak yang ditemukan di kawasan tambang sedang mengeruk timah atau biasanya disebut “ngelimbang”.


Setidaknya, ada dua faktor utama penyebab anak-anak berkecimpung mencari timah. Pertama, karena lebih tergiur dengan upah yang didapatkan dari menambang dan membantu orang tua daripada harus belajar. Faktanya banyak anak-anak yang terjun langsung untuk mencari timah sering diabaikan oleh orang tua. Hal ini menyebabkan angka putus sekolah semakin bertambah di Desa Lampur, Bangka Tengah. Kedua, faktor ekonomi. Keterbatasan ekonomi orang tua yang menyebabkan anak putus sekolah menjadi pendorong bagi anak untuk terjun ke dunia pekerjaan, mereka terpaksa atau dengan kesadaran diri sendiri ingin membantu perekonomian orang tua. Ketiga, budaya dan lingkungan. Ikut membantu orang tua menambang timah merupakan hal yang lumrah dan terjadi secara turun-menurun. Ketika anak lebih sering melihat lingkungan sekitarnya banyak yang menambang ia juga akan mengikuti perilaku dari orang tersebut.


Timah merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbarui, artinya sewaktu-waktu cadangan timah akan habis jika digali secara terus menerus. Kita perlu mengakhiri ketergantungan ekonomi lokal terhadap timah. Diperlukan inisiatif dari pemerintah setempat dan masyarakat mencari pengganti aktivitas penambangan timah. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah menggantikan timah adalah dengan mengembangkan komoditas kopi. Pada tanggal 27 September 2020 Gubernur Erzaldi meresmikan Rumah Produksi Kopi Geddong Forum Masyarakat Petani (FORMAP) di Desa Lampur, Bangka Tengah dalam rangka memperingati hari tani sedunia. Kopi ini memiliki ciri khas yaitu kopi organik. Menurut Ketua Formap Babel, M. Syarif, mereka telah menanam kopi di areal seluas 400 ha. Mereka juga telah menyediakan bibit kopi untuk areal seluas 700 ha. Tergetnya pada tahun 2021 bisa menanam sampai 3.500 ha.

Saat ini, Rumah Produksi Geddong telah memproduksi kopi sebanyak satu ton per bulan. Ada tiga varian roast yaitu light roast, medium roast dan dark roast coffe. Dalam membudidayakan kopi ini pupuk yang digunakan adalah pupuk organik. Pemasaran kopi ini telah sampai ke Bali, Banten, Semarang dan Bandung. Hal ini memberikan semangat bagi FORMAP untuk memasarkan kopi lebih luas lagi agar perekonomian masyarakat di Desa Lampur semakin membaik dan masyarakat dapat menggantungkan perekonomiannya selain dari penambangan timah.


Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bangka Belitung merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia. Masyarakat di Bangka Belitung tidak bisa lepas dari peradaban timah karena telah berlangsung sejak lama dan turun-menurun. Sejak tahun 2000-an penambang timah ilegal kian marak di Bangka Belitung akibat dikeluarkannya otda yang memperbolehkan masyarakat menambang timah tanpa batasan. Salah satunya terjadi di Desa Lampur. Desa ini merupakan daerah populer bagi para penambang ilegal. Dulunya daerah ini pernah dikuasi oleh PT. Timah Tbk namun karena dirasa tidak lagi menghasilkan timah perusahaan ini meninggalkan lokasi sehingga diambil alih oleh warga sekitar. Ada lima aktor yang terlibat dalam jaringan pertimahan ini yaitu pelimbang, penambang, kolektor smelter dan pengusaha timah. Aktor yang paling mencolok adalah masyarakat lokal atau penambang liar. Pemerintah perlu mencari strategi alternatif lain pengganti timah yaitu dengan membangun komoditas kopi. Harapannya dengan dibangunnya rumah produksi geddong masyarakat dapat beralih profesi menjadi petani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *