Deby Ramadhani
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP UBB
Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan pihaknya mencatat rata-rata setiap tahunnya terjadi 300 ribu angka perceraian di Indonesia. Sehingga setidaknya terdapat 300 ribu perempuan yang menjadi janda dan laki-laki yang menjadi duda karena kasus perceraian setiap tahunnya. Kamaruddin menjelaskan terdapat banyak faktor yang menyebabkan angka perceraian di Indonesia sangat tinggi seperti faktor ekonomi dan juga perselingkuhan. Maka dengan tingginya angka perceraian, dapat kita bayangkan berapa banyak anak yang kemudian mengalami keluarga yang hancur atau broken home. Menurut Jihn M. Echolis (2000: 80) secara etimologi broken home diartikan sebagai keluarga yang retak. Jadi, broken home adalah kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua yang disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena perceraian, sehingga anak hanya tinggal bersama satu orang tua kandung.
Anak dari keluarga broken home tidak lepas dari stigma negatif yang melekat pada dirinya. Menurut Erving Goffman (1968) stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan seseorang. Banyak kemudian masyarakat yang mengatakan “Wajar dia nakal, wajar dia mencuri, wajar dia mengonsumsi narkoba, kan dia anak broken home.” Stigma ini seakan-akan menempatkan anak yang berasal dari keluarga broken home sebagai sosok yang nakal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih menganggap anak-anak yang tumbuh di keluarga yang utuh akan memiliki karakter yang lebih baik karena utuhnya pemberian kasih sayang daripada anak yang hanya diasuh dari orang tua tunggal. Menurut Psikologi Anak Seto Mulyadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kak Seto menyatakan bahwa kurangnya kasih sayang merupakan fenomena klasik yang menyebabkan anak keluarga broken home cenderung nakal. Poin pentingnya, orang tua harus sadar dan tidak mengedepankan ego dalam berumah tangga demi masa depan anak. Sedangkan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), Arist Merdeka Sirait menerangkan bahwa Anak broken home yang dijauhi dan diberi cap sebagai “produk gagal” keluarga berpotensi tumbuh menjadi pelaku kekerasan. Selain itu trauma yang dialami oleh anak broken home juga berpotensi berdampak terhadap gangguan psikologisnya.
Lalu apakah stigma yang menganggap anak broken home pasti “nakal” itu sepenuhnya benar? Menurut penulis tidak. Mengapa penulis mengatakan demikian? Di Indonesia saja sudah banyak anak yang berasal dari keluarga broken home yang sukses. Kita ambil contoh saja Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari keluarga broken home. Orang tua beliau bercerai saat beliau masih berusia remaja. Beliau pun sempat merasa terguncang dengan perceraian orang tuanya namun kemudian beliau bertekad untuk mengubah hidupnya sambil berkata, “dipersimpangan itu saya bersumpah harus keluar dari situasi broken home dan menjadi seseorang.” Hal ini terbukti dengan beliau menjadi presiden hingga 2 priode. Lalu adapula aktris sukses tanah air yang berasal dari keluarga broken home seperti Reza Rahardian dan Nia Ramadhani. Walaupun berasal dari keluarga broken home tidak mematahkan semangat dan perjuangan mereka untuk menjadi seorang aktris. Banyak pula tokoh dunia yang berasal dari keluarga broken home salah satunya adalah Barack Obama. Beliau merupakan mantan Presiden Amerika Serikat yang ternyata terlahir sebagai anak broken home. Dirinya hanya diasuh oleh Ibunya. Namun Obama membuktikan bahwa keluarga broken home bukan alasan untuk tidak sukses. Walaupun merasakan sakit karena ayahnya tidak bersamanya, namun dia tetap bertahan dan terus berusaha untuk sukses.
Contoh orang sukses yang lahir dari keluarga broken home di atas membuktikan bahwa keluarga yang tidak utuh bukan penghambat seseorang menjadi sukses. Perceraian orang tua bukanlah akhir segalanya. Penulis memang bukan berasal dari keluarga broken home, namun penulis memiliki banyak lingkungan pertemanan yang berasal dari keluarga broken home, namun mereka memiliki budi pekerti yang baik dan tidak gampang menyerah. Hal ini menunjukkan stigma yang menganggap anak broken home nakal hanyalah sebuah stigma yang dapat dipatahkan.
“There is no such thing as a “broken family.” Family is family, and is not determined by marriage certificates, divorce papers, and adoption documents. Families are made in the heart. The only time family becomes null is when those ties in the heart are cut. If you cut those ties, those people are not your family. If you make those ties, those people are your family. And if you hate those ties, those people will still be your family because whatever you hate will always be with you.” ― C. JoyBell C.
(Deby Ramadhani/Red LPM UBB)