Penulis : Ramsyah (Mahasiswa UBB & Penulis Buku)

LPM UBB, Pangkalpinang – Kemajuan sebuah kota tentu mudah dilihat melalui pembangunan secara fisik. Baik itu jalan, arsitektur, tata kota, penanganan sampah, fasilitas umum dan lain sebagainya. Sama halnya dengan kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang beberapa tahun terakhir sangat masif untuk pembangunan kotanya. Pengembangan taman kota, fasilitas umum dan bahkan sampai tugu-tugu sebagai ikon Pangkalpinang terus dibangun. Di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh wali kota Pangkalpinang tergolong visioner (mendobrak pakem) dan banyak didukung oleh masyarakat. Tak heran bila Kota Pangkalpinang disematkan sebagai “Kota Beribu Senyuman”. Sayangnya, bila kita sedikit menajamkan mata, beralih dari euforia fisik kota Pangkalpinang, kita dapat melihat mulai tumbuhnya kepincangan sosial masyarakat Pangkalpinang.

Pembangunan sebuah kota bukan hanya dari segi fisik bangunan, tetapi juga persoalan membangun sosial masyarakat yang baik di perkotaan. Umumnya, pembangunan kedua hal itu tidak berbanding lurus. Sehingga banyak kota-kota besar mengalami ketimpangan sosial. Polemik ini tentu sering terjadi dalam pembangunan kota-kota di Indonesia. Sama halnya dengan yang sedang dihadapi Kota Beribu Senyuman. Saat sibuk memperbanyak fasilitas dan meningkatkan pembangunan, seringkali terlupakan untuk membangun sosial masyarakat. Sehingga mulai tumbuh ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat perkotaan Pangkalpinang. Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba memaparkan Kondisi sosial Pangkalpinang yang terlihat jelas melalui pengamatan saya di jalanan Kota Pangkalpinang.

Saat ini, ketika saya melintasi lampu merah Kota Pangkalpinang, banyak anak-anak terlihat menawarkan jualannya seperti makanan, koran, suvenir, masker dan lain sebagainya. Pernah beberapa kali saya berbincang dengan anak-anak tersebut secara acak di berbagai persimpangan lampu merah Kota Pangkalpinang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dalam usia sekolah dasar dan sebagian besar masih sekolah. Saat saya tanya tentang alasan berjualan jawabannya sederhana saja yakni untuk jajan, kuota dan sekolah. Dengan sengaja mereka mau dipekerjakan untuk menjual barang dagangan orang lain untuk mendapat upah tertentu sesuai hasil jualan.

Sekilas tampak tidak ada yang salah dari anak-anak tersebut berjualan. Tetapi dari sisi memperkerjakan anak dibawah umur adalah sebuah hal yang tidak dibenarkan oleh hukum. Salah satu hukum yang mengatur hal tersebut yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Kemudian Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan anak. Dalam ketentuan undang-undang tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.

Wajah Kota Beribu Senyuman bukan dari eksploitasi anak-anak. Menanggapi masalah ini, maka harus ada solusi yang benar-benar efektif. Bila solusi yang ditawarkan oleh pemerintah hanya berupa peneguran dan sanksi pada orang yang memperkerjakan sekalipun orang tua mereka, maka permasalahan tidak akan terselesaikan. Adapun alasan di balik anak-anak ini hingga bisa berjualan disebabkan oleh faktor ekonomi. Maka harus ada pula solusi untuk masalah tersebut. Hal ini bukan hanya pada satu keluarga. Banyaknya anak-anak yang turun untuk berjualan dijalan menunjukkan banyaknya keluarga yang bermasalah pada faktor ekonomi.

Selain hal di atas, setiap kali saya makan di warung-warung yang notabene adalah tempat nongkrong anak-anak muda, banyak sekali berseliweran pengamen dan pengemis. Bila pada hari-hari biasa bisa 3-5 kali pengamen dan pengemis lewat minta jatah rezekinya. Pada hari libur seperti malam Minggu bisa meningkat dua kali lipat dari angka itu.

Berbicara tentang pengamen di Pangkalpinang, banyak ragam pengamen yang saya lihat. Ada pengamen yang masih tergolong muda dalam usia produktif, tetapi yang disayangkan adalah pengamen-pengamen dari kalangan anak-anak di bawah umur. Ada yang mengamen secara bebas, tetapi ada juga beberapa kali terlihat oleh saya bahwa mereka diawasi seseorang saat mengamen, terutama saat mengamen di perempatan lampu merah. Menanggapi hal ini maka kita akan kembali pada permasalahan di atas yaitu eksploitasi terhadap anak di bawah umur. Terlebih kebanyakan dari pengamen-pengamen ini bukan menjual suara atau seni, tetapi lebih menjual rasa iba manusia.

Yang paling memprihatinkan yaitu mulai maraknya pengemis-pengemis di Kota Pangkalpinang. Pengemis-pengemis ini seperti jamur di musim hujan dan itu terjadi dua tahun kebelakang. Dulu, rasanya sangat sulit menemukan pengemis di kota Pangkalpinang, sekarang tampak sebaliknya. Dari kebanyakan pengemis yang saya lihat adalah mereka yang telah berumur di atas 50-an dan beberapa di umur produktif kerja tetapi dengan modus disabilitas.

Secara umum, para pengemis menjadikan aktifitas “mengemis” sebagai satu-satunya mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meski di antara pengemis telah memiliki rumah dan tabungan, banyak penelitian membuktikan bahwa aktifitas mengemis dalam hal ini tidak disebabkan oleh faktor tunggal bernama ekonomi, namun mental masyarakat yang memang menjadikan “mengemis” sebagai tulang punggung kehidupan. Mental mengemis itu sendiri bukan tiba-tiba muncul dari situasi kondisi masyarakat yang tanpa nilai. Mental mengemis dibentuk oleh budaya, yang disosialisasikan secara terus menerus dalam struktur masyarakat. Artinya, budaya buruk ini tidak pernah dibasmi secara masif dengan tindakan yang efektif oleh pemerintah Kota Pangkalpinang atau terlambat disadari.
Beberapa kali terbaca oleh saya dalam berita-berita kota Pangkalpinang, bahwa pengemis-pengemis ini sering ditertibkan. Solusi bukan hanya terletak pada penertiban ataupun pembinaan para pengemis. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa mental mengemis tidak serta-merta muncul, tetapi didukung oleh kondisi sosial masyarakat yang mendukung. Seharusnya Penertiban dan pembinaan tidak hanya diperuntukkan untuk pengemis, tetapi juga untuk masyarakat Pangkalpinang agar tidak mendukung mental pengemis dalam artian tidak memberi uang pada pengemis. Kemudian harus disokong dengan kebijakan dan penegak kebijakan untuk memberantas mental pengemis.

Selain itu, saya juga sering melihat-lihat jalanan Pangkalpinang. Jalanan ini tidak hanya dihiasi oleh trotoar, pohon-pohon, bunga-bunga, hiasan dan fasilitas umum, tetapi juga para pemulung dengan gerobak atau bisa kita sebut sebagai orang gerobak. Orang-orang gerobak ini jelas memperlihatkan ketimpangan sosial masyarakat Pangkalpinang yang besar. Di bawah terik matahari atau hujan, tampilan yang lusuh, belum lagi ada beberapa dari mereka membawa anaknya. Walaupun mereka tidak menjual rasa iba manusia, banyak dari masyarakat yang lewat turut membantu dengan memberikan uang atau makanan. Sebagaimana namanya, orang gerobak, beberapa dari mereka yang terlihat oleh saya, pada tengah malam masih di trotoar jalan dan tidur dalam gerobak-gerobak tersebut.

Umumnya orang-orang gerobak ini berasal dari luar Bangka Belitung. Ini menandakan tidak tertibnya orang dari luar masuk ke Kota Pangkalpinang karena hanya berdasarkan mengadu nasib tanpa modal. Hal ini menjadi catatan tersendiri untuk Kota Pangkalpinang karena terlalu mudah di akses orang luar untuk masuk, sehingga bagu mereka yang berada di jalan buntu memanfaatkan hal yang pasti selalu ada diperkotaan yakni, sampah yang disulap menjadi uang.
Bukan sebuah pemandangan indah melihat jalanan Pangkalpinang di bawah terik matahari dengan adanya keberadaan orang gerobak. Pada beberapa berita dan artikel yang saya baca, banyak kota yang memanfaatkan pemulung-pemulung untuk bekerjasama dengan pemerintah kota guna mengurusi keberhasilan lingkungan. Tentu hal ini dapat serupa dengan mereka sebagai petugas kebersihan. Dapat pula disertai penghasilan tetap guna menopang hidup orang gerobak. Melihat prospek pemulung (orang gerobak) yang berperan besar dalam pengolahan 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) sampah, hal di atas tidak salah bila dimasukkan sebagai solusi orang gerobak di Pangkalpinang.

Bila ditilik dari cita-cita mulia Bangsa Indonesia yang tertuang dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa…dst.” Negara bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Tujuan negara ini tertuang dalam Pasal 34 UUD 45 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Makna yang tersurat dalam pasal tersebut bahwa negara dalam hal ini pemerintah terutama para kepala pemerintahan memiliki peranan penting dalam menjaga, melindungi dan memberdayakan masyarakatnya (fakir miskin dan anak-anak yang terlantar termasuk pengamen) untuk berkehidupan yang lebih layak dan sejahtera, sesuai cita-cita perjuangan para pendiri bangsa tercinta kita, Republik Indonesia.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan kembali, bahwa pembangunan sebuah kota bukan hanya dari fisik kota, tetapi pula sosial dan ekonomi masyarakat di kota tersebut. Pangkalpinang adalah Kota Beribu Senyuman, katanya, tetapi tidak ada senyuman bila melihat anak-anak dengan wajah polos mereka menjajakan makanan di perempatan lampu merah, dengan wajah-wajah yang mengundang iba. Tidak ada senyuman untuk pengamen dan pengemis, tidak ada senyuman untuk orang-orang gerobak Pangkalpinang dan tidak ada pula senyuman di Kota Beribu Senyuman bila hal ini masih tetap ada.

(Ramsyah/Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *