Jacky Rahmat, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Bangka Belitung.

Sebagai daerah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan, suatu kewajaran jika masyarakat Bangka Belitung cukup banyak yang berkerja sebagai nelayan. Pekerjaan ini dianggap cukup menjanjikan karena letak geografis yang strategis dan melimpahnya sumber daya perairan yang ada di Bangka Belitung. Berbagai bantuan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Namun, permasalahan kesejahteraan ini hingga detik ini masih belum juga dapat teratasi. Hal ini kemudian mendorong perubahan masyarakat yang beralih pekerjaan dari nelayan ke pekerjaan lain.

Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti hilangnya makna laut bagi masyarakat, konstruksi budaya, ekonomi, pendidikan serta perubahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Jika faktor-faktor tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin jika Bangka Belitung akan kehilangan banyak sekali nelayannya. Hingga saat ini, Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Babel volume produksi perikanan tangkap di provinsi mencapai 210.625 ton pada 2020 dengan jumlah nelayan sebanyak 41.747 orang. Terbilang angka yang cukup banyak untuk saat ini. Namun bagaimana dengan 5 tahun bahkan 10 tahun yang akan datang. Apakah masih ada milenial yang ingin bekerja sebagai nelayan?

Dewasanya kini, banyak sekali milenial yang ogah jadi nelayan. Bagi mereka, pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan yang sampai saat ini masih suram masa depannya. Perubahan pemikiran ini terjadi karena adanya bentuk fakta langsung yang dirasakan oleh anak-anak nelayan yang menganggap pekerjaan orang tua mereka masih jauh dari kata sejahtera. Adanya dorongan dari orang tua untuk menempuh pendidikan tinggi agar tidak bernasib sama. Selain itu, adanya konstruksi masyarakat bahwa menjadi Pegawai Negeri Sipil menjadi pekerjaan yang lebih terhormat dan menjanjikan bagi mereka dari pada harus menjadi nelayan dengan nyawa sebagai taruhannya.

Pernyataan generasi milenial di Bangka Belitung enggan untuk menjadi nelayan dan memilih menjadi PNS tidak semuanya patut disalahkan. Pemikiran-pemikiran tersebut tentunya dapat hadir karena adanya bukti nyata yang dirasakan bertahun-tahun hidup di keluarga nelayan dan bukan hanya sekedar ucapan omong kosong. Selain itu, bagi mereka laut sudah tidak lagi memiliki makna yang beratri. Laut yang sebenarnya harus dijaga keasriannya agar ikan semakin banyak dan melimpah, namun pada kenyataannya pendapatan ikan nelayan semakin hari semakin menurun. Penurunan jumlah pendapatan ikan di Bangka Belitung dapat terjadi karena adanya faktor penambangan timah di pesisir pantai dan juga laut.

Dalam hal ini terkadang nelayan sering merasa dilema dengan aktivitas pertambangan di laut. Karena, pertambangan di laut secara hukum dilegalkan oleh pemerintah daerah. Akan tetapi, efek dari aktivitas pertambangan ini membuat menurunnya jumlah tangkapan nelayan. Untuk mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak, para nelayan harus mencari ikan jauh ke tengah laut dan tentu hal ini akan menambah modal mereka dalam mencari nafkah. Adanya kebijakan kenaikan BBM juga turut andil dalam melanggengkan kemiskinan bagi para nelayan. Kenaikan BBM ini mungkin tidak begitu berefek kepada masyarakat menengah keatas. Namun bagi masyarakat nelayan, kenaikan bahan bakar ini tentu membuat mereka semakin banyak modal yang harus dikeluarkan.

Kebutuhan modal ini, tentunya harus dipersiapkan dengan matang agar bisa melaut dengan baik. Kendala modal ini kemudian membuat nelayan ada yang memutuskan untuk berhenti melaut. Hal ini sebagai salah satu efek aktivitas pertambangan di laut yang kemudian memaksa nelayan untuk mencari ikan dengan jarak tempuh yang semakin jauh. Dan secara tidak langsung kebutuhan modal untuk membeli bahan bakar serta balok-balok es untuk pengawetan ikan juga ikut meningkat. Tak cukup sampai disitu saja, para nelayan terkadang harus mengalami tekor dalam melaut. Bagaimana tidak, dalam satu kali melaut nelayan membutuhkan modal sebesar Rp. 300.000,- untuk modal solar dengan pendapatan ikan hanya sekitar 10 kg karena oprasional kapal untuk melaut secara lebih jauh tidak memadai. Setelah itu, nelayan menjual ikan dengan harga kisaran Rp.40.000-50.000/kg dengan pendapatan sekitar Rp. 400.000-500.000,- belum dengan biaya makan saat melaut dan keperluan es balok.

Selain itu, jika pada awalnya mereka meminjam modal baik berupa solar ataupun kapal kepada patron klien. Keuntungan yang didapatkan harus dibagi beberapa persen dari hasil yang di dapatkan. Hal ini yang kemudian timbul yang namanya eksploitasi nelayan. Adanya sistem patron klien ini akan melanggengkan kapitalisme di dalam ekonomi para nelayan. Akhirnya, secara tidak langsung nelayan tersebut akan terus mengalami permasalahan ekonomi dan kesejahteraan karena ketidak tersediaan modal yang cukup untuk melakukan aktivitas nelayan. Jika hal ini terus dilanjutkan tanpa ada bantuan dari pemerintah setempat akan menimbukan istilah “laut hanya punya pemilik modal”. Maksudnya ialah dimana hanya mereka yang memiliki modal dan orang kaya saja yang akan sejahtera dilaut sedangkan yang miskin akan terus terbelenggu dibawah garis kemiskinan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, menjadi banyak sekali alasan mengapa banyak sekali generasi melenial yang ogah-ogahan menjadi nelayan. Generasi mana yang mau hidupnya susah karena menjadi nelayan. Dari mulai kesejahteraan yang tidak menjamin, adanya kebijakan pemerintah yang terkadang tidak pro masyarakat. Tentunya, bagi generasi melenial harus berfikir berkali-kali dan berulang-ulang kali ketika ingin menjadi nelayan. Namun, jika hal ini tidak dapat diatasi oleh pemerintah. Sangat Memungkinkan, Bangka Belitung akan kehilangan banyak nelayan muda. Sehingga, pemasukan ekonomi masyarakat dan juga daerah akan menurun.

Perlu kita sadari, pentingnya pekerjaan nelayan untuk Provinsi Bangka Belitung. Bertahun-tahun lamanya kita hanya mengandalkan sektor pertambangan yang sangat diminati oleh masyarakat. Masyarakat Bangka Belitung boleh saja berleha-leha sekarang ini menikmati hasil timah yang semakin hari semakin menipis pasokannya. Lalu bagaimana nasib kita nanti ketika tambang timah sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan perut masyarakat. Perubahan-peruban apa yang akan terjadi pada perekonomian pasca tambang daerah ini. Faktanya hutan-hutan dan lahan-lahan perkebunan kian hari kian menipis. Hanya laut harapan untuk masyarakat Bangka Belitung untuk memperbaiki masalah ekonomi pasca tambang.

Masalah inilah yang seharusnya dipersiapkan oleh pemerintah daerah. Bagaimana caranya meningkatkan generasi muda agar tertarik bekerja di sektor perikanan. Dengan cara membuat program yang bijak sehingga kesejahteraan masyarakat nelayan akan segera tercapai. Pentinya manajemen perairan yang baik dan sesuai dengan analisis dampak lingkungan terkait masalah pertambangan dan pembangian zona tambang dan zona tangkapan ikan degan baik dan adil. Manajemen yang baik ini diharapakan bersama dapat menjaga ekosistem laut dan pantai di Bangka Belitung. Banyak sekali potensi yang Bangka Belitung miliki. Dari mulai perkebunan, perikananan dan juga di sektor pariwisata. Namun, sebagus apapun potensi kita miliki tanpa adanya upaya untuk mengolah dan memanajemen potensi yang dimiliki dengan baik tentu akan sia-sia. Sebagai generasi muda yang perduli akan potensi maritim di Bangka Belitung hanya berharap yang terbaik untuk kemajuan negeri ini. Karena yang paling mampu membuat perubahan dengan muda hanya mereka yang memiliki power dan juga kekuasaan.

Semoga kita selalu dilindungi Allah SWT . Aamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *