Ahmad Alkautsar, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Bangka Belitung.

Tuhan menganugerahkan hamparan lautan yang luas dan pesisir yang memanjang sepanjang garis tepi pulau Bangka dan Belitung. Di sepanjang pesisir itu pula terdapat komunitas masyarakat pesisir yang dominan bekerja sebagai nelayan. Memang, di Kepulauan Bangka Belitung, masyarakat pesisir juga dihuni oleh para penambang laut. Namun, itu tidak serta0merta menghilangkan atau menggusur eksistensi para nelayan yang sudah sejak lama menetap dan tinggal di daerah itu, Mereka hidup beiringan meski sering juga terjadi konflik.

Artikel opini kali ini akan berfokus kepada permasalahan nelayan Bangka Belitung yang memiliki sumber daya alam lautan yang banyak dan kaya, namun tidak membuat hidup mereka sejahtera bahkan banyak yang jauh dari standar kehidupan yang layak dari segi perekonomiannya.

Sumber daya laut yang penuh dengan vitamin, protein, dan zat zat yang menyehatkan justru tidak mampu menghilangkan stunting yang terjadi pada masyarakat Babel terutama pada masyarakat pesisir. Dilansir dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Bangka Belitung hanya turun 0,1 persen. Awalnya 18,6 persen menjadi 18,5 persen pada tahun 2022. Sementara itu, di kabupaten Bangka Selatan, Bangka Tengah, dan Belitung justru naik. Dari Hasil SSGI 2022 ini, urutan prevalensi stunting di Bangka Belitung sebagai yakni Bangka Selatan sebanyak 23 persen, Bangka Tengah 21,2 persen, Bangka Barat 20,5 persen, Belitung 19,6 persen, Bangka 16,2, Belitung Timur 16 persen, Pangkalpinang 12,9 persen.

Saya menggunakan angka stunting untuk mengkaji persoalan kemiskinan karena ini sangat berkesinambungan. Stunting terjadi karena kekurangan gizi dan ini cukup aneh karena lautan Babel itu kaya. Seharusnya juga mampu untuk membuat masyarakat pesisir menjadi sejahtera dan mampu untuk menunjang kehidupan terutama pada segi sektor pokok pangan yang menjadi hal yang wajib untuk dipenuhi sebagai standar kehidupan layak. Lalu, mengapa hal demikian dapat terjadi? Ada satu penyebab yang menurut saya sangat berperan besar dalam menyumbang ketidaksejahteraan masyarakat pesisir, yakni sistem patron client yang ada di masyarakat pesisir Babel.

Apa Itu Patron Client?

Istilah patron client sendiri muncul dalam artikel James C. Scott yang berjudul Patron Client Politics and Political Change in Southeast Asia. Dalam buku tersebut ia menerangkan bahwa Hubungan patron-klien adalah hubungan pertukaran antar peran, yang dapat didefinisikan sebagai kasus khusus ikatan antar patron dan klien. Hubungan ini melibatkan “persahabatan” yang sebagian besar bersifat instrumental di mana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya sendiri untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada seseorang yang statusnya lebih rendah (klien). Pada gilirannya, membalas dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk layanan pribadi, kepada sang patron.

Sistem ini sekilas pandang tampak sangat bagus karena membantu nelayan terutama nelayan pemula yang tidak memiliki modal namun sekaligus menjadi boomerang bagi nelayan sendiri yang pada akhirnya terjerumus pada sistem yang tidak menguntungkan mereka sendiri, mereka alih alih menjadi manusia independen untuk memanfaatkan sumber daya lautan justru menjadi tidak bebas dan terikat pada patron yang ada di lingkungan mereka. Istilah patron ini dapat kita temui dalam Bahasa sehari hari yang sering disebut sebagai tengkulak.

Lantas, Bagaimana Dampak Patron Client bagi Nelayan?

Jelas pasti nelayan akan mengalami ketergantungan, terutama pada persoalan modal dan pasar. Nelayan jadi tidak bebas untuk menentukan harga. Bahkan, tak jarang mendapatkan bayaran murah sementara patronnya menjual dengan harga tinggi di pasar.

Di Bangka Belitung sendiri hal ini marak terjadi. Saya pernah berkunjung ke beberapa lokasi masyarakat pesisir di Pulau Belitung, seperti Tanjung Binga, Juru Sebrang, Buku Limau. Saya dapat memastikan bahwa terdapat patron yang mengontrol moda perekonomian nelayan. Para patron ini pun tidak bekerja sendirian. Mereka memiliki karyawan untuk mengontrol urusan pertukaran, pembelian, dan pendistribusian ke pasar, bahkan dalam proses pendistribusian sering terjadi ketimpangan.

Hasil lautan yang berkualitas tinggi seperti ikan justru diekspor. Ikan yang ada di pasaran pun sering ditemui adalah ikan yang berkualitas rendah. Kalau ada maka ikan berkualitas, harganya akan cukup tinggi. Alhasil ikan ikan beredar di pasaran pun adalah ikan yang jumlahnya banyak yang dinilai oleh patron tidak terlalu bernilai ekonomis. Pada akhirnya masyarakat justru hanya akan mengkonsumsi ikan yang itu itu saja.

Sering saya jumpai masyarakat pesisir justru tidak terlalu nafsu untuk mengkonsumsi ikan tertentu dengan faktor karena bosan dan sebagainya. Ini terjadi karena ikan ikan yang berkualitas dan bagus tidak untuk mereka melainkan untuk diekspor oleh patron mereka. Lantas, jika nelayan mendapatkan tangkapan ikan yang bagus dan berkualitas setiap hari yang bernilai tinggi di mata perkulineran dunia mengapa nelayan justru tidak mendapatkan hasil yang bernilai tinggi pula. Di sinilah ketidakadilan dari sistem patron client yang sebetulnya dapat disebutkan sebagai pemerasan secara sistemik dan mengakibatkan kemiskinan struktural. Kenapa itu bisa terjadi? Karena yang menentukan harga dan produktivitas dari nelayan itu adalah si patron. AKhirnya patron pula yang akan memonopoli nelayan sekitar.

Lalu, Solusi yang Bisa Ditawarkan?

Saya tidak akan secara lugas dan menganjurkan juga agar nelayan untuk tidak berhubungan dengan sistem patron client karena yang sangat disayangkan sistem itu pasti ada dan memang yang paling dekat dengan masyarakat pesisir. Di sini saya hanya menyayangkan saja peran instansi pemerintahan yang bergerak pada persoalan koperasi dan juga pendistribusian perikanan seperti Dinas Koperasi. Juga, Dinas Perikanan yang entah kenapa tidak menjadi pihak yang paling depan untuk membantu menyejahterakan para nelayan.

Mengapa saya dapat mengatakan hal yang demikian? Lihat saja kenyataannya. Jika intansi itu menjalankan perannya dengan benar, tidak akanlah nelayan terjebak dalam sistem patron client yang patronnya di luar intansi itu. Jika hal yang ditawarkan oleh intansi itu menguntungkan para nelayan, pastilah nelayan akan bergantung pada intansi pemerintahan dan bukan bergantung pada patron yang tujuannya hanya untuk meraup keuntungan pribadi. Ini kalau persoalan secara birokrasi.

Dan solusi yang dapat saya tawarkan adalah, nelayan harus berserikat, dengan berserikat nelayan akan kuat dan tidak terkotak-kotak. Dengan berserikat pula nelayan dapat menciptakan ikatan kekeluargaan yang kuat sehingga bisa memicu sifat kolektif dan kebersamaan. Harapannya, dengan sifat kolektif itu nelayan akan bergotong-royong dan saling membantu antar sesama. Saya sering melihat kejadian di nelayan yang terjebak pada sistem patron client, mereka seperti menjadi terhegemoni dan tidak bersemangat untuk berserikat. Ini justru menurut saya sangat mengkhawatirkan dan akan semakin menjerumuskan mereka ke sifat ketergantungan yang lebih dalam lagi.

Nelayan itu akan kuat dan hebat jika mereka berserikat. Sebab di intansi yang demokratis (katanya) suara massa lebih didengarkan dibanding suara yang disuarakan oleh satu individu saja. Tidak hanya pada intansi pemerintahan saja, bagi para patron pun demikian. Jika para nelayan secara berkelompok dan massal menolak intervensi dan juga monopoli dari para patron atau tengkulak itu, bukan tidak mungkin dapat meruntuhkan sistem patron client yang ada.

Oleh karenanya dengan berserikat nelayan dapat saling membantu antar satu dengan yang lainnya, satu saran saya untuk seluruh nelayan Babel yakni: berserikatlah!

Referensi :

James C. Scott. Patron Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar., 1972) pp. 91-113.

Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021 dan 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *