Oleh : Citra Afrilianti

Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Erzaldi Rosman akan memulai tahun 2022 dengan pembangunan insfrastruktur secara merata di Bangka Belitung, baik progres pembangunan yang sedang berjalan ataupun yang akan berjalan.


Hal ini ditandai melalui Rapat Koordinasi Terkait Pembangunan Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan rapat yakni isu strategis perencanaan pembangunan, seperti pembangunan bahtera jembatan Sumatera Bangka, yang merupakan konektivitas dan terpenting dalam perkembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi serta kelancaran aktivitas masyarakat. Wacananya, pembangunan akan dilaksanakan pada tahun 2028/2029.


Isu strategis lainnya adalah Trans Bangka Belitung yang dimasukkan dalam rencana pengembangan jaringan jalan jangka menengah tahun 2024-2029. Lingkar Bangka ini dikatakan pihak BPJN, tujuannya adalah terkoneksi dengan jembatan Sumatera-Bangka. Studi kelayakan telah dilakukan pada tahun 2016. Total 460 km di wilayah Bangka dan 362 km di wilayah Belitung. Rencana ini juga masuk dalam rencana tahun anggaran 2024-2029.  Pembangunan jalan trans Babel ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas, mengurangi biaya logistik dan mendukung kawasan pariwisata di Kepulauan Babel.

Berbagai upaya dilakukan oleh Gubernur Erzaldi Rosman dalam mengakselerasi pembangunan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satunya dengan cara mengusulkan usulan proyek prioritas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam mendukung Pelaksanaan Major Project dan Prioritas Nasional pada ada saat Rapat Koordinasi Menteri PPN/Kepala Bappenas dengan Para Gubernur, melalui Video Meeting, Selasa (23/02/2021).

Berikut adalah  9 usulan proyek prioritas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam mendukung Pelaksanaan Major Project dan Prioritas Nasional tahun 2021:
1. Penyediaan air baku di kawasan strategis (KI, KEK, DPP), di desa Batu Mentas Kabupaten Belitung
2. Jembatan pilang di Kabupaten Belitung
3. Jalan Akses KI Sadai
4. Kawasan Lada, Pala dan Cengkeh
5. Penyediaan Air Baku di Kawasan Perkotaan (Pangkalpinang)
6. Peningkatan Jaringan DI Rias di Kabupaten Bangka Selatan
7. Pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Pulau Pongok (Desa Sebatik).
8. Pengerukan dan Penataan Sungai (Sungai Rangkui-Teluk Bayur di Kota Pangkalpinang dan Sungai Lenggang di Kabupaten Belitung.
9. Pengerukan dan Penataan Kolong Retensi Gudang padi di Kota Pangkalpinang.

Paradigma Pembangunan Kapitalistik

Dari berbagai proyek prioritas diatas, ada hal penting yang mesti kita soroti bahwa pembangunan infrastruktur di Babel tak jauh beda dari pusat, yakni masih fokus mengejar kepentingan ekonomi semata bukan sepenuhnya melayani kemashlahatan rakyat. Selain itu, tidak sedikit pembangunan infrastruktur yang masih dimodali perusahaan swasta.


Adapun salah satu proyek prioritas yang diusulkan Erzaldi pada tahun 2021 lalu diantaranya adalah penyediaan air baku di kawasan strategis Desa Batu Mentas Kabupaten Belitung. Hal ini guna mendukung Kawasan Stategis Pariwisata Nasional (KSPN) Tanjung Kelayang Belitung dalam jangka menengah, dengan harapan terpenuhinya fasilitas publik dan penyediaan air bersih layak minum pada kawasan pariwisata. Tujuannya tidak lain untuk menarik wisatawan sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah. Seandainya bukan untuk kawasan pariwisata, apakah hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat secara cuma-cuma tanpa motif ekonomi? Bagaimana dengan akses air bersih layak minum untuk rakyat di daerah pelosok?

Selain itu, adanya rencana pembangunan Jembatan Bahtera Sumatera-Bangka dimana menghubungkan Sumatera Selatan dengan Pulau Bangka sepanjang 15,2 kilometer. Pembangunannya ditaksir menelan biaya sekitar Rp15 triliun. 15 triliun bukan angka yang sedikit, apalagi kalau sumber pendanaan merupakan utang negara, maka rakyatlah yang harus memikul beban. Sungguh Ironis!

Pengkajian mendalam dan akurat penting dilakukan guna menganalis dan menakar dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat, khususnya dampak pembangunan ini pada zona tangkapan ikan nelayan yang berefek pada kesejahteraan ekonomi nelayan, belum lagi rusaknya ekosistem kawasan gambut, hutan mangrove, dan aspek kriminalitas. Masyarakat Bangka yang selama ini hidup relatif tenang atau angka kriminalitas rendah, bukan tidak mungkin mengalami perubahan, khususnya keamanan. Jangan sampai mindset kapitalistik yang sudah mendarah daging, yang maunya untung, eh malah membawa buntung.

Lalu di poin ke 7, ada pembangunan pelabuhan penyeberangan Pulau Pongok yang juga merupakan proyek prioritas Pemprov. Babel sebagai destinasi pariwisata prioritas.  Sekilas kita melihat konektivitas antar pulau Babel akan semakin mudah dengan adanya pelabuhan. Namun, dengan pembangunan kapitalistik yang jauh dari nilai Islam, apakah bisa menjamin bahwa pelabuhan tadi tidak menjadi tempat transit transit narkoba dari segitiga emas? Apakah bisa dipastikan tidak menjadi kawasan yang semakin terinfiltrasi dengan nilai-nilai liberal? Apakah bisa dipastikan tidak menjadi tempat eksploitasi SDA oleh pihak asing?

Sudah seharusnya kita belajar dari kasus Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat yang saat ini telah dikelola swasta setelah pemerintah melaksanakan serah terima pengelolaan aset kepada PT Pelabuhan Patimban Internasional (PPI). Cukup sebetulnya menjadi bukti, bahwa pembangunan infrastruktur yang dimodali asing sejatinya adalah upaya “menjual” negeri kepada asing.

Karena jika memang pembangunan infrastruktur seperti Pelabuhan, jalan, jembatan semua itu untuk rakyat. Mengapa pembangunan jembatan di pedesaan, jalan arteri antardesa tidak diperhatikan? Sangat terlihat fokus pembangunan hanya terletak pada sektor dan wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Jika pun alasannya, bahwa keuntungan dibuatnya infrastruktur akan mengalir nantinya pada kepentingan rakyat. Pelabuhan akan membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam dunia, maka hal ini akan menghantarkan devisa yang besar dan menciptakan kesejahteraan.

Pertanyaannya kini, apakah mungkin negara berkembang (miskin) yang pembangunannya didikte asing, dapat menjadi pemain utama? Lihat bagaimana Jepang begitu ambisius membantu pemerintah dalam membangun Pelabuhan Patimban. Loan pun dikucurkan begitu besar pada Indonesia, sehingga pembangunannya bisa cepat dilakukan.

Jika mendetili lebih mendalam, fakta pembangunan infrastruktur kapitalistik sangat erat kaitannya dengan hasil penelitian para intelektual. Adanya konsep hilirisasi riset dan inovasi yang diusung dalam UU Cipta Kerja tak lebih dari kamuflase kapitalisasi SDA hingga pelosok negeri. Tak bisa dipungkiri bahwa potensi dan peran intelektual sebagai pihak yang berjuang di balik layar sangatlah strategis, Mereka adalah kalangan akademisi dan peneliti yang penelitiannya dibajak dan dimanfaatkan untuk kepentingan korporasi.

Mereka dipersuasi oleh kenaikan gelar, jabatan dan capaian dana riset. Padahal, mereka tak ubahnya alat bagi sistem untuk menjalankan visi sekuler kapitalisme menuju penguasaan SDA hingga ke aspek-aspek terkecil termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Pemanfaatan hasil penelitian intelektual dalam pembangunan infrastruktur kapitalistik sejatinya adalah pembajakan kekayaan intelektual dan pembodohan kinerja intelektual.

Paradigma Pembangunan Islam

Berbeda secara diametral dengan paradigma pembangunan kapitalistik yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Paradigma pembangunan dalam Islam berangkat dari kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya. Jika kapitalisme memandulkan fungsi negara yang hanya sebatas regulator.

Islam dengan sistem nya menjadikan peran negara sebagai sentral dalam upaya pembangunannya. Sehingga kerja sama dengan swasta tidak dibutuhkan, apalagi skema loan berbasis riba. Pemerintahannya yang independen akan menjadikan pembangunannya fokus pada kemaslahatan umat.

Prioritas pembangunan pun bukan dilihat apakah bernilai ekonomi atau tidak. Tapi berdasarkan kemaslahatan bagi umat. Jika masih banyak sarana prasarana yang umat butuhkan untuk bisa hidup dengan layak, maka pembangunan pemerintah akan fokus ke sana.

Sistem Islam akan fokus membangun jembatan antar desa, membuat bendungan untuk kemaslahatan rakyat, memperbaiki jalan rusak. Pemerintah tidak akan tergoda oleh kucuran utang untuk membangun Pelabuhan yang kebutuhannya tidak mendesak, karena memang Pelabuhan sudah banyak.

Pembangunannya pun harus memperhatikan hak rakyat. Jangan sampai ada hak rakyat terampas, jika memang tanah rakyat atau mata pencaharian rakyat harus terambil. Sistem Islam akan memberikan kompensasi yang setimpal bahkan lebih pada rakyatnya. Sistem Islam dengan jajarannya yang peduli pada umat, akan benar-benar memastikan rakyatnya tidak terzalimi.

Oleh karena itu, permasalahan demi permasalahan yang muncul dengan adanya pembangunan infrastruktur termasuk Pelabuhan, jembatan, dan lain-lain, sejatinya akibat dari paradigma pembangunan yang kapitalistik. Oleh karena itu, jika kita menginginkan pembangunan yang fokus pada kemaslahatan umat, urgen sekiranya Islam dengan sistem islam menjadi sistem yang menaungi negeri ini.

Peran Intelektual Muslim dalam Mengawal Pembangunan Infrastruktur

Peradaban Barat sekuler selaku pengasong ideologi kapitalisme, dipastikan berupaya untuk memusnahkan peran wahyu Ilahi sebagai otoritas ilmu tertinggi dalam dunia pendidikan untuk kepentingan penjajahan intelektual. Sekulerisasi iptek telah bertransformasi menjadi musuh dalam selimut umat Islam, hingga mendistorsi keimanan dan identitas selaku umat terbaik.

Kapitalisme juga telah menjatuhkan harga diri para intelektual pada sekadar derajat ‘buruh pintar’. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi langkah kapitalis dalam menjarah kekayaan alam dunia Islam.

Padahal dalam pandangan Islam, posisi ilmu pengetahuan sangatlah mulia. Memposisikan iptek sebagai komoditas ekonomi sama saja menghinakan iptek itu sendiri. Maka, sungguh pendidikan dan intelektualitas jangan sekadar dijadikan aspek pemuas akal. Melainkan harus diposisikan sebagai aspek pembangun kepribadian Islam.

Kepribadian islam para intelektual Muslim inilah yang menjadi landasan bahwa mempelajari ilmu empiris adalah untuk mendapatkan manfaat dan menggunakannya untuk melayani kepentingan umat Islam dan dunia Islam. Ilmu pengetahuan tidak dicari untuk kepentingan diri sendiri. Melainkan dicari untuk kemashlahatan umat manusia agar mereka bisa mengarahkan pikiran dan pengetahuan yang dimilikinya dapat sesuai dengan aturan Islam.

Maka sudah jelas bahwa peran intelektual muslim dalam pembangunan infrastruktur berupa sumbangan keilmuan dan pengawalan pembangunan agar dilaksanakan sesuai mekanisme dan kaidah Islam. Wallahu ‘alam bisshawab.

(Red LPM UBB)

By Moral

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *