Oleh: Ghaaziyatul Labiibah (Aktivis Mahasiswa)

Aroma liberalisasi dalam sistem pendidikan negeri ini semakin kentara setelah diwacanakannya Kurikulum Paradigma Baru atau yang disebut pula dengan nama Kurikulum Prototipe. Mulai 2022 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk bebas memilih salah satu kurikulum pendidikan nasional, yakni Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Prototipe. Adapun Kurikulum Prototipe digadang-gadang menjadi kurikulum yang bersifat opsional dan dapat diterapkan sebagai alat transformasi pembelajaran. (https://www.liputan6.com/news/read/4832378/4-fakta-kurikulum-prototipe-2022-yang-disebut-bersifat-opsional)

Ketidakseragaman kurikulum yang diterapkan ini seolah menjadi indikasi kegamangan negara dalam menetapkan tujuan pendidikan sejati yang hendak dicapai. Dugaan ini semakin diperkuat dengan adanya fleksibilitas pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing.

Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Anindito Aditomo membeberkan salah satu karakteristik utama Kurikulum Prototipe yang dinilai dapat mendukung pemulihan pembelajaran pasca pandemi Covid-19 ialah fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Lebih lanjut, perancangan kurikulum sekolah pun dapat diatur dengan lebih fleksibel. Dalam Kurikulum Prototipe, tujuan belajar ditetapkan perfase, yakni dua hingga tiga tahun, untuk memberi fleksibilitas bagi guru dan sekolah. Selain itu, jam pelajaran ditetapkan per tahun agar sekolah dapat berinovasi dalam menyusun kurikulum dan pembelajarannya. (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/12/kurikulum-prototipe-sebagai-opsi-dukung-pemulihan-pembelajaran)

Konsep kurikulum ini hanya semakin menggambarkan, dengan jaminan kebebasan yang selalu dijunjung tinggi dalam sistem Kapitalisme, pendidikan sebagai aspek vital bagi kehidupan negara pun kini telah menjadi sesuatu yang sebebasnya dijalankan sesuai kehendak masing-masing pihak yang berkepentingan. Terlepas dari masalah selanjutnya yang berkaitan dengan kemampuan sekolah dalam merealisasikan Kurikulum Prototipe ini, persoalan yang juga penting untuk dipikirkan, bagaimanakah output generasi yang akan dihasilkan dari ketidakseragaman kurikulum yang diterapkan di negeri ini? Akankah dengan perbedaan kurikulum, proses pembelajaran, ditambah lagi dengan akses fasilitas pendidikan yang berbeda-beda di setiap daerah, semua berujung pada satu titik, yakni teralisasinya tujuan pendidikan yang selama ini telah tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2?

Pada kenyataannya, secara jujur harus diakui, kebebasan yang hari ini tercermin dalam program Merdeka Belajar justru bukan semata berorientasi pada capaian tujuan yang mengedepankan keluhuran pendidikan. Merdeka Belajar yang menjadi inkubator lahirnya Kurikulum Prototipe ini justru menjadi legitimasi liberalisasi pendidikan yang akan melahirkan output generasi yang sesuai dengan standar pasar kapitalis global. Sebab, ketidakseragaman kurikulum yang ada dalam menghadapi banyaknya tantangan learning loss telah menjadi bukti tidak adanya kejelasan standar pendidikan yang ingin dicapai negeri ini.

Dengan kata lain, sejatinya tidak ada tujuan pendidikan yang baku dalam sistem pendidikan Indonesia. Meski tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 secara tekstual tidak berubah, namun pada praktiknya tujuan ini berubah arah dalam regulasi yang sesuai dengan kepentingan penguasa sistem politik negeri bahkan dunia hari ini yakni pada kapital. Potret problem ini sungguh semakin mempertegas kegagalan sistem Kapitalisme-Sekulerisme yang meliberalisasikan segala aspek kehidupan manusia yang berada dalam pengaturannya, termasuk pendidikan.

Bukan sekedar asumsi, kegagalan ini pun disampaikan oleh Galnon (1950) yang menyatakan: “Kelemahan paling serius dalam pendidikanmodern adalah ketidakpastian tentang tujuannya. Sekilas membuka sejarah akan mengingatkan kita bahwa, sistem pendidikan yang paling penting dan efektif telah memberikan tujuan dengan jelas dalam hal kualitas pribadi dan kondisi sosial. Sebaliknya, pendidikan di negara-negara demokrasi liberal menyedihkan, tidak jelas tujuannya.” (Ensiklopedia Khilafah dan Pendidikan, hal.31)

Kegagalan ini sudah seharusnya menghantarkan kita pada sebuah sistem alternatif, dari ideologi selain Kapitalisme-Sekulerisme yang ada di dunia. Sebagai muslim, melirik pada ideologi Sosialisme-Komunisme yang mencampakkan fitrah manusia tentu menjadi hal yang mustahil. Karenanya, satu-satunya alternatif adalah ideologi Islam yang juga memiliki pengaturan sistem pendidikan, termasuk terkait kurikulumnya.

Dengan berasaskan akidah Islam, sistem pendidikan Islam yang dalam sejarahnya dinaungi oleh sebuah Negara Islam, memiliki tujuan pendidikan yang jelas. Tujuan dari sistem pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni 1) berkepribadian Islam, 2) menguasai tsaqafah Islam, 3) menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian) yang memadai. Untuk mewujudkan tujuan ini disusun kurikulum pendidikan formal yang juga berlandaskan akidah Islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara. Keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara.

Dalam pembelajaran, kurikulum diterapkan dengan memperhatikan tumbuh kembang peserta didik. Peserta didik yang sudah balig belajar secara terpisah dengan peserta didik yang belum balig. Peserta didik laki-laki belajar secara terpisah dengan peserta didik perempuan. Kurikulum ini berlaku tanpa membedakan agama, mazhab, kelompok ataupun ras. Dalam penerapan kurikulum, pendidikan formal dibagi dalam dua jenjang (marhalah), yakni pendidikan sekolah dan pendidikan tinggi. Adapun jenjang pendidikan sekolah sendiri akan dibagi menjadi tingkatan tingkatan, yaitu: (1) ibtidaiyah (6-10 tahun); (2) mutawasithah (11-14 tahun); dan (3) tsanawiyah (15 tahun-tuntas).

Pelaksanaan kurikulum ini berada sepenuhnya dalam pengawasan negara sebagai penjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan pada setiap individu rakyatnya. Sebab pendidikan merupakan salah satu dari enam kebutuhan pokok rakyat selain sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keamanan yang wajib dipenuhi negara secara optimal bahkan gratis. Penguasa berdosa di hadapan Allah saat melalaikan kewajibannya ini, sebagaimana hadist Rasulullah saw.:
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Tidakkah kita ingin ideologi alternatif ini menjadi nyata diterapkan dalam kehidupan?
Wallahua’lam bishshawwab. []

(Red LPM UBB)

By Moral

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *