Ferlisa Fanisda
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Landasan hukum yang digunakan sebagai salah satu pedoman dalam penyelesaian perkara Kepailitan-Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (K-PKPU) di Inodnesia adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU K-PKPU). UU K-PKPU menyatakan bahwa setelah putusan pailit diucapkan maka Debitor akan kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya yang termasuk ke dalam harta pailit (Pasal 24 ayat (1)), namun dalam kenyataannya justru pasal ini memberikan kesempatan untuk para Debitor melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dengan memindahkan harta kekayaannya pada saat permohonan pailit diproses.

Hal yang sama diucapkan oleh Sultan Remy berdasarkan pengalamannya. Beliau mengatakan bahwa dalam proses permohonan pailit Debitor masih memiliki keleluasaan untuk memindahkan harta kekayaannya, dan akibatnya ketika putusan pailit tersebut dibacakan harta kekayaan Debitor tersebut telah banyak berkurang. Maka sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap para Kreditor dari Debitor yang dimohonkan pailit, dalam RUU K-PKPU di cetuskan ide untuk mengadopsi sistem Automatic Stay.

Dalam UU K-PKPU sekarang sebetulnya telah mengenal konsep Stay atau Penangguhan terhadap harta kekayaan Debitor yang dimohonkan pailit, sebagaimana di atur dalam Pasal 56 undang-undang ini. Oleh karena itu di dalam RUU K-PKPU konsep ini harus dipertahankan dan dipertegas dengan melakukan penerapan Automatic Stay atau dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi Keadaan Diam Otomatis. Automatic Stay ini dalam penerapannya adalah ketika permohonan pailit diajukan maka akan berlaku otomatis demi hukum sehingga tidak harus menunggu adanya putusan pengadilan. Penerapan Automatic Stay ini tidak akan merugikan pihak manapun, karena terhadap harta kekayaan tersebut bukanlah dibekukan namun ditangguhkan agar saat proses permohonan pailit berlangsung harta kekayaan tersebut dapat aman dan terjaga nilainya dan Kreditor pun dapat memperoleh haknya. Kemudian saat putusan pengadilan menyatakan Debitor pailit maka status yang semulanya ‘Keadaan Diam Otomatis’, maka demi hukum berubah menjadi ‘Sita Umum Terhadap Seluruh Aset Debitor Pailit’.

Beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada telah menerapkan konsep Automatic Stay ini, sama halnya juga Belanda. Belanda telah menerapkan konsep ini selama 125 tahun dengan disebut sebagai Cooling Down Period atau Masa Tenang, dimana baik Kreditor maupun Debitor mempunyai hak untuk mengajukan Stay saat permohonan pailit, dan hakim akan memerintahkan bahwa Kreditor tidak dapat melaksanakan haknya untuk sementara, termasuk terhadap Kreditor pemegang hak kebendaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar harta kekayaan tersebut dapat aman hingga Kurator selesai melakukan verifikasi terhadap harta kekayaan Debitor. Sedangkan jika dalam sistem hukum kepailitan Amerika Serikat tujuan pemberlakuan Automatic Stay adalah agar dapat memastikan pembagian yang adil terhadap seluruh Kreditor.

Menerapkan konsep Automatic Stay dalam RUU K-PKPU adalah langkah yang baik untuk mencegah terjadinya pengurangan harta oleh Debitor atau tindakan penyalahgunaan hak oleh Kreditor Separatis yang dapat berujung merugikan Kreditor lain. Dalam banyak kasus tidak menutup kemungkinan Debitor melakukan pemindaan harta atau aset ketika proses permohonan pailit berlangsung. Juga terhadap Kreditor Separatis yang dapat melakukan kecurangan menggunakan Hak Istimewanya. Mengadopsi konsep Automatic Stay ke dalam RUU K-PKPU adalah tindakan penyempurnaan yang bagus terhadap UU K-PKPU yang berlaku saat ini.

(Ferlisa Fanisda/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *