Oleh Fatimah Zahra

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah hasil tambang. Menurut UU No.4/2009, usaha pertambangan dikelompokkan atas pertambangan mineral, dan pertambangan batubara. Pertambangan menyeimbangkan persentase ekspor dan impor barang di Indonesia. Hampir setiap tataran di kehidupan Negara ini dipengaruhi oleh sektor pertambangan dan industri turunannya. Tidak sedikit wilayah yang perekonomiannya tumbuh dan ditunjang sektor pertambangan. Salah satu wilayah penghasil bahan tambang adalah Bangka Belitung, bahan tambang yang dihasilkan yaitu timah.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal sebagai daerah yang menyimpan hasil bumi yang kaya dan satu-satunya penghasil timah di Indonesia. Bahkan nama Bangka sendiri berasal dari wangka yang artinya timah. Di pasar Internasional, timah dari Bangka Belitung diwakilkan dengan merk Banka Tin, yang memiliki karakter khusus yaitu timah-putih (stannum) yang diklaim sebagai kualitas terbaik. Tercatat industri pertambangan timah dimulai sejak abad ke-19 pada era kolonial dan kemudian dikelola oleh pemerintah indonesia setelah kemerdekaan. Penduduk asli Bangka Belitung umumnya menempati posisi pekerja rendahan di perusahaan saat penambangan timah dikuasai PT. Tambang Timah, posisi-posisi menengah-atas dipegang oleh orang luar daerah. Timbul kesenjangan sosial antara penduduk asli dan karyawan rendahan disatu pihak dan para petinggi PT. Tambang Timah dipihak lain. Kesenjangan itu terletak pada fasilitas dan perlakuan istimewa dari perusahaan dalam hal layanan kesehatan, liburan, olahraga, pendidikan, dll. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang membekas lama dihati penduduk lokal.

Maraknya tambang rakyat Bangka Belitung bukan karena semata-mata faktor ekonomi saja tetapi karena letupan ketidakpuasan atas pengerukan hasil kandungan bumi oleh “orang lain”. Sementara mereka hanya bisa menjadi penonton yang baik, karena apabila mencoba untuk ikut menggali timah pada masa monopoli PT. Tambang Timah, maka pintu penjara siap menanti.

Ada 2 jenis proses penambangan timah, yaitu penambangan darat dan penambangan di laut. Penambangan darat dilakukan dengan cara menggali tanah dengan menggunakan pompa semprot, pasir beserta biji timah dialirkan melalui peralatan yang disebut sakan, biji timah yang mempunyai berat jenis lebih besar dari pasir akan terendapkan dan terpisah dari pasir. Sedangkan penambangan laut dilakukan dengan cara menyedot biji timah dari dasar laut dengan menggunakan kapal keruk, kapal isap atau TI apung sederhana (yang biasanya digunakan oleh rakyat).

Pada mulanya, penambangan timah hanya dilakukan di daratan Bangka Belitung. Namun semakin sulitnya mendapatkan lokasi yang kaya timah di daratan, hasil penambangan di darat yang terus merosot, dan biaya operasional yang semakin melambung membuat masyarakat dan perusahaan penambang timah mengalihkannya ke laut. Banyaknya para penambang yang beralih dari darat ke laut mengakibatkan TI apung yang dioperasikan oleh rakyat dan kapal isap yang digunakan perusahaan tambang swasta semakin bertambah banyak bertebaran diseluruh laut Bangka Belitung. Perusahaan mengoperasikan armada kapal keruk untuk produksi di daerah lepas pantai (off shore). Kapal keruk dapat beroperasi mulai dari kedalaman 15-50 meter dibawah permukaan laut dan mampu menggali lebih dari 3,5 juta meter kubik material setiap bulan. Aktivitas tambang biji timah illegal memicu pendangkalan dilaut seperti yang terjadi di pelabuhan perahu nelayan di desa kurau, kabupaten Bangka Tengah. Pendangkalan yang terjadi cukup parah di alur pelabuhan nelayan di muara sungai kurau dikeluhkan para nelayan yang kesulitan menambatkan perahu mereka. Sedimentasi muara sungai itu memang cukup parah bahkan ketinggian air hanya 20 cm pada saat itu laut dalam kondisi normal.

Puluhan ton pasir yang dikeruk/disedot dari dasar laut, setelah dilakukan pemisahan antara biji timah dan pasir atau lumpur, maka limbah yang ada ini langsung dibuang begitu saja kelaut mengakibatkan sedimen menutup terumbu karang dan menyebabkan rusak dan matinya terumbu karang. Rusaknya terumbu karang berakibat pada berkurangnya sumber daya ikan di wilayah perairan Bangka Belitung, karena terumbu karang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan-ikan. Ikan yang semakin berkurang membuat banyak nelayan kehilangan mata pencaharian. Sehingga tingkat kemiskinan meningkat. Kerusakan lingkungan ini terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa disertai upaya pemeliharaan dan konservasi lingkungan hidup. Dengan adanya peristiwa di atas diperlukan adanya langkah-langkah secara scientific untuk memastikan bahwa suatu kegiatan pengelolaan terhadap lingkungan hidup atau SDA tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dan merugikan orang lain.

(Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *