Oleh: Ghaaziyatul Labiibah

Mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Afganistan (2/7) hingga menjadikan Taliban meraih kemenangan telah memunculkan banyak spekulasi. Namun, di antara beragam spekulasi yang ada, ternyata masih ada yang berupaya menggiring kemenangan Taliban pada kebangkitan terorisme dan radikalisme.

Pengamat teroris Noor Huda Ismail menilai ada efek jangka panjang dari kebangkitan Taliban di Afganistan dengan pergerakan kelompok teroris di Indonesia. Dampak jangka panjang itu berupa human security atau keamanan manusia. “Itu akan menginspirasi kelompok-kelompok yang pro negara Islam. Efek dominonya itu loh yang dikhawatirkan,” ujar Noor Huda ( nasional.tempo.co, 22/8/21).

Senada, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj berpendapat, apa yang terjadi di Afghanistan saat ini pasti akan berdampak pada kelompok radikal di Indonesia. “Tapi Taliban menang ini pasti akan menjadikan motivasi di (kelompok) radikal Indonesia ini. ‘Tuh lihat! Tuhan telah membela Taliban. Mari bangkit. Tuhan akan membela kita.’ Pasti akan terjadi seperti itu,” ucap Said Aqil Siradj dalam diskusi yang disiarkan kanal Youtube NU Channel pada 20 Agustus 2021.

Namun nampaknya, potensi ini hanyalah sebatas pada kekhawatiran tanpa bukti. Berseberangan dengan kedua statement sebelumnya, Imron Byhaqi alias Abu Tholut, WNI yang pernah menjadi petempur di Afghanistan pada periode sekitar 1985-1992 justru menyebutkan untuk tidak perlu terlalu khawatir dengan kemenangan Taliban dan kaitan itu dengan aksi terorisme di Indonesia, karena tidak ada bukti empiris kemenangan gerakan di luar negeri memicu aksi terorisme di Indonesia dalam hal ini yang terkait Islam. Ia mencontohkan beberapa kemenangan gerakan Islam di luar negeri, misalnya kemenangan Revolusi Iran pimpinan Ayatollah Khomeini tidak langsung disambut gerakan teror di Indonesia. Menurut Abu Tholut, aksi teror baru akan terjadi jika ada konflik, kezaliman, penjajahan, dan berita-berita duka. (m.antaranews.com, 21/8/21)

Dari perbedaan pendapat ini dapat dinilai bahwa adanya potensi pergerakan terorisme dan radikalisme sebagai dampak kemenangan Taliban adalah tuduhan yang tidak berdasar. Bahkan, menyikapi kemenangan Taliban ini dengan bersikap waspada terhadap kemenangan Islam merupakan sikap diskriminatif yang dilandasi pada ketakutan irasional. Secara historis, justru sikap ini hanya menambah deretan fenomena monsterisasi syari’ah yang selama ini terus digulirkan. Seolah tak ada habisnya, ketakutan pada syari’ah Islam akan senantiasa memunculkan sikap skeptis pada setiap hal yang berhubungan dengan simbol Islam. Sungguh miris!

Padahal, jika melihat lebih dekat pada posisi Taliban, dapat dikatakan bahwa gerakan ini sedang berada dalam kondisi yang diliputi dengan banyak pilihan politik. Terlebih, hengkangnya AS tidaklah diikuti oleh Rusia dan Cina yang hingga saat ini masih mempertahankan perwakilan diplomatiknya di Afghanistan. Di sisi lain juga, meski pilihan itu ada, Taliban tidak secara tegas menyatakan kemenangan ini adalah kemenangan dengan dideklarasikannya “Negara Islam”. Artinya, menyifati kemenangan Taliban sebagai kemenangan Islam dan kaum muslimin secara penuh belumlah tepat untuk saat ini. Apalagi melekatkan narasi terorisme dan radikalisme pada kemenangan Taliban, sungguh ini adalah tindak gegabah yang tidak seharusnya ada pada diri muslim.

Sudah seharusnya seorang muslim memiliki kepekaan politik (sense politic) yang benar dalam menilai setiap peristiwa yang terjadi di hadapannya. Dari peristiwa politik Afghanistan dan dengan sikap Taliban hari ini, kaum muslimin seharusnya dapat melihat lebih jeli dan dekat pada fakta politik yang sebenarnya sehingga tidak mengambil sikap pragmatis.

Kesimpangsiuran respon global terhadap kemenangan Taliban seharusnya tidaklah mengacaukan fokus kaum muslimin Indonesia untuk tetap memahami peran besarnya sebagai aktor perubahan. Di tengah monsterisasi syari’ah, justru peran kaum muslimin Indonesia sangat dinanti dalam membangun pemahaman Islam yang benar. Bukan justru merestui apalagi ikut serta menyebarkan framing negatif tentang Islam. Sebab ini adalah sikap yang harus diperhatikan oleh setiap muslim sebagai wujud konsekuensi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُۥٓ أَجْرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:112)

Untuk itu, sepatutnya tidak ada keraguan pada diri muslim untuk menunjukkan pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin dalam keadaan apapun. Terlebih saat simbol Islam dan kaum muslimin kembali mendapatkan stigmatisasi negatif dalam moment kemenangan yang diraih oleh Taliban sebagai salah satu gerakan Islam di Afghanistan ini. Pun jikalau pada akhirnya Taliban benar mengambil sikap untuk mendeklarasikan Khilafah maka hal ini tetap tidak dibenarkan untuk dianggap sebagai sebuah kesalahan yang akan memunculkan efek domino pada gerakan Islam di Indonesia. Sebab, Khilafah juga ajaran Islam dan bukan sesuatu yang harus distigmatisasi negatif, dipersekusi, apalagi dikriminalisasi.

Secara historis, semua pengkajian yang obyektif terhadap Khilafah di masa lalu selalu menunjukkan adanya komparasi kehidupan yang jauh berbeda dengan bentuk sistem politik yang ada hari ini. Keagungan Khilafah terdahulu dapat diraih bukan hanya karena terdukung oleh sumber daya negara yang dikelola dengan baik, namun inilah pembuktian terhadap janji Allah yang tidak akan pernah bisa terbantahkan oleh makhluk pun.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf:96)

Wallahua’lam bishshawwab. []

(Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *