Yolla Amelia
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Di dalam dunia bisnis tentunya tidak asing lagi jika mendengar istilah pailit. Pailit atau Kepailitan merupakan suatu kondisi pada perusahaan yang terkadang berujung pada kebangkrutan atau gulung tikar. Pailit sendiri diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau biasa disebut dengan UU Kepailitan.

Didalam UU Kepailitan menyebutkan bahwa suatu perusahaan dapat dinyatakan Pailit apabila perusahaan tersebut memiliki utang kepada dua atau lebih kreditur yang dimana perusahaan tersebut tidak mampu membayarkan utang-utangnya hingga jatuh tempo yang telah ditentukan. Status pailit atau tidaknya suatu perusahaan ditentukan melalui putusan Pengadilan Niaga baik yang berasal dari permohonan sendiri maupun kreditor.

Ketika sebuah perusahaan mengalami kemunduran maka akan timbulah masalah finansial yang dapat mengakibatkan perusahaan tersebut tidak bisa untuk melakukan pemenuhan kewajiban untuk membayarkan hutang nya, tidak sampai disitu saja perusahaaan yang mengalami kondisi diatas juga akan berdampak pada perusahaan itu sendiri serta pihak-pihak lainya, misalnya para pekerja di perusahaan tersebut. Para pekerja akan terancam di putuskan hubungan kerjanya, yaitu berupa pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha(PHK). Lalu bagaimana dengan hak-hak para pekerja?

Para Pekerja yang mengalami PHK akibat perusahaan pailit haknya berpedoman pada pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya” dari bunyi pasal tersebut jelas dinyatakan bahwa gaji dan hak lainnya adalah utang yang didahulukan pembayarannya atau pekerja memiliki hak privilege.

Selanjutnya hak-hak lain pekerja diatur dalam pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan dalam terjadinyanya PHK pengusaha diwajibkan membayar uang penghargaan masa kerja atau uang pesangon dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam pasal 156 ayat (2) Undang Undang Ketenagakerjaan menyebutkan mengenai ketentuan-ketentuan masa kerja dengan jumlah pesangon yang diterima, dalam ketentuan ayat ini menyebutkan bahwa perhitungan pesangon sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit adalah masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun dan mendapatkan pesangon sebesar 1 (satu) bulan upah. Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perhitungan uang penghargaan masa kerja, dalam ayat ini menyebutkan bahwa pekerja yang di PHK memiliki hak menerima uang penghargaan dengan minimum masa kerja selama tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun dan uang penghargaan setara dengan upah dua bulan. Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Artinya ketika suatu perusahaan mengalami Pailit dan melakukan PHK terhadap para pekerja maka hak-hak para pekerja harus dipenuhi atau dibayarkan. Yang dimana bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang diputus hubungan kerjanya dengan alasan perusahaan pailit, maka yang bersangkutan berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Sedangkan bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, ia berhak atas ganti kerugian sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Meskipun terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengakibatkan para pekerja kehilangan pekerjaan nya, namun terkait dengan utang gaji, dan lain-lain harus tetap dibayarkan oleh perusahaan tersebut meskipun perusahaan tersebut dalam kondisi pailit.

(Yolla Amelia/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *