Marsilia Anjeli
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

“Setiap perusahaan yang mempunyai sedikitnya dua hutang dan salah satu diantaranya telah jatuh tempo dan dapat ditagih,dapat dimohonkan pailit”. – Prinsip Dasar Kepailitan.

Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, berdasarkan ketentuan ini, Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003, BUMN terdiri dari dua bentuk yaitu Perum dan Persero. Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya mengatur sepintas saja mengenai kepailitan BUMN, yaitu dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dari pernyataan tersebut, undang-undang tidak memberikan penjabaran secara detail, mengingat bentuk BUMN berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 adalah Perum dan Persero. Terhadap BUMN Persero, berdasarkan pengaturan kepailitan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak ada penjelasan dan pengaturan secara tegas.

Dari analisis terhadap UU Nomor 19 Tahun 2003 dan UU No. 37 Tahun 2004 dapat diperoleh pemahaman bahwa rumusan Pasal 2 Ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham”. Di dalam penjelasan ini, ada 2 hal yang dapat dikemukakan yaitu: Pertama, dari Pasal 2 Ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut dapat diketahui bahwa BUMN yang dimaksudkan adalah BUMN yang berbentuk Perum sebagaimana sesuai dengan Pasal 1 Angka 4, yang menyebutkan bahwa “Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”. Dengan demikian yang dengan jelas diatur adalah BUMN yang berbentuk Perum, dan permohonan pailit untuk Perum tersebut hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Sedangan pengaturan kepailitan terhadap BUMN Persero, tidak ditemukan secara jelas baik dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 maupun dalam UU Nomor 19 Tahun 2003.

Kedua adalah terkait dengan klausula yang menyatakan “seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham”. Klausula ini menjadi rancu dikarenakan ketentuan tersebut menekankan bahwa negara adalah satu entitas, sehingga kepemilikan saham oleh negara adalah kepemilikan tunggal. Namun dalam pelaksanaannya, kepemilikan saham BUMN yang berbentuk Perum dimiliki oleh Menteri BUMN dan Menteri Keuangan, sehingga kepemilikan saham atas BUMN yang berbentuk Perum adalah bukan kepemilikan tunggal. Kedua hal tersebut yang kemudian menjadi perdebatan, dikarenakan belum adanya pengaturan lebih lanjut mengenai kepailitan terhadap BUMN khususnya yang berbentuk Persero.

Selama ini beberapa BUMN yang pernah dinyatakan pailit, tidak ada yang pernah sampai pada proses pemberesan aset, contohnya dari catatan kepailitan di Indonesia setidaknya ada tiga BUMN yang pernah dinyatakan pailit, PT Dirgantara Indonesia (Persero); PT Iglas (Persero); dan PT Istaka Karya (Persero). Tapi status kepailitannya dibatalkan entah di tingkat kasasi, maupun peninjauan kembali. Status pailit Dirgantara dicabut pada tingkat kasasi, sedangkan Iglas, dan Istaka di tingkat Peninjauan Kembali. Sementara dalam UU 37/2004 opsi kasasi dan kepailitan memang terbuka bagi para pihak guna menganulir putusan di pengadilan niaga.

(Marsilia Anjeli/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *