Oleh: Ghaaziyatul Labiibah

Refleksi kemerdekaan berulang setiap tahunnya pada bangsa ini nyatanya belumlah menunjukkan kondisi merdeka yang ideal. Banyak PR (pekerjaan rumah, red.) yang belum terselesaikan dalam semua lini kehidupan masyarakat, terlebih dengan kondisi pandemi dalam kurun satu tahun belakangan.

Masih segar dalam ingatan kita, berbagai pendapat para pakar di tahun lalu yang beramai-ramai menyatakan Indonesia belumlah merdeka. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Mardani H. Maming menyatakan ekonomi Indonesia belum merdeka. “Indonesia sudah merdeka 75 tahun, apakah kita sudah merdeka dari semuanya? Kita bisa merdeka dari penjajahan, tapi kita belum merdeka dari perekonomian,” ujar Mardani dalam keterangan persnya di tengah perayaan 75 tahun kemerdekaan tahun lalu, Senin (17/8).

Ekonom senior yang juga pendiri The Institute for Development of Economics and Finance, Didik Junaidi Rachbini pun turut menuliskan refleksi di kala itu, yang pertama dan utama terhadap kebijakan pemerintah pada masa pandemi Covid-19. Menurut Didik, Indonesia belum merdeka dari pandemi Covid-19 yang menyerang masyarakat dan bangsa Indonesia. “Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi karena kebijakan sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi Covid-19,” ujarnya.

Pendapat-pendapat ini telah memberikan clue tegas bahwa kemerdekaan bukan hanya dinilai dari pengakuan secara de jure, namun juga de facto. Merdeka bukan hanya sebatas pada seremonial rutin tahunan yang justru tak “berbekas” pada kehidupan sehari-sehari dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Pada kenyataannya, refleksi kemerdekaan tahun ini pun kembali menghantarkan kita pada kesimpulan pahit akan kondisi bangsa ini, bahkan bisa jadi memang lebih pahit. Penanganan Covid-19 yang tak berujung keberhasilan telah memperparah krisis multidimensi. Dimulai dari aspek politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sosial yang justru tergambar kelam hari ini.

Secara politik, Indonesia saat ini belumlah tampil sebagai negara yang mandiri dalam konstelasi politik internasional. Sebagaimana sebelumnya, peran negara maupun kapital asing masih sangat kentara dalam setiap kebijakan nasional dan daerah. Pada politik dalam negeri pun, masyarakat masih dipertontonkan kualitas kepemimpinan dengan akuntabilitas yang rendah. Kasus estafet korupsi, tuntutan akan fasilitas mewah bagi pejabat, kebijakan yang tidak pro-rakyat dan kasus sejenisnya seolah tak ada habisnya menambah derita hidup rakyat yang berharap belas kasih penguasanya.

Secara ekonomi, di detik-detik jelang hari kemerdekaan, Bank Dunia dalam laporannya, menyebutkan jika pada tahun ini peringkat Indonesia turun menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah ( lower middle income ) Bahkan, dari Laporan World Economic Outlook (WEO), IMF memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara paling menderita diantara negara-negara G20. Sungguh menjadi kenyataan pahit di tengah kebijakan sepanjang pandemi di negeri ini yang sejak awal justru memprioritaskan ekonomi dibandingkan aspek lainnya.

Dalam aspek kesehatan, telah menjadi opini publik bahwa keterbatasan fasilitas telah memperlambat penanganan wabah selama ini. Hal ini menjadi sesuatu yang wajar hingga pandemi tak mampu terkendali bahkan menjadi bola salju yang terus menggelinding membesar hingga menembus 3.871.738 kasus positif dengan 118.833 diantaranya meninggal dunia per 16 Agustus 2021 secara nasional.

Untuk pendidikan, problem PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) tak kunjung usai terutama untuk daerah berfasilitas minim. Problem skala mikro mulai dari terbatasnya akses internet, ketersediaan perangkat teknologi, skill yang belum mumpuni (pada guru, siswa maupun orang tua) nyatanya menjadi problem yang semakin runyam dengan minimnya kebijakan pada tataran makro. Alhasil, bangsa ini menuai produk yang tak seharusnya seperti berbagai problem psikis dari gangguan emosi siswa, guru dan orang tua disamping munculnya perilaku menyimpang pada siswa yang tidak mendapatkan edukasi mumpuni secara moril.

Maka, secara sosial pun dapat dijumpai kerusakan generasi bertubi-tubi yang seolah tak kenal akhir akibat minimnya pemahaman benar untuk berprilaku yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama sekolah, keluarga, masyarakat bahkan negara membangun sinergi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Semua kenyataan ini tentu pada akhirnya mengantarkan pada kebutuhan akan pemaknaan kemerdekaan yang seharusnya. Sebab dengan kondisi merdeka yang tidak ideal, sejatinya telah jelas mengindikasikan bahwa tidak ada kemerdekaan dalam kehidupan bangsa saat ini. Terlebih dengan realitasnya bahwa bangsa ini hidup dalam sebuah iklim sekuler nan liberal. Sistem politik demokrasinya pun telah menempatkan pendapat manusia di atas segala-galanya termasuk titah Rabbi, Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur manusia.

Padahal, dengan syari’at-Nya, Allah SWT telah memberikan huda’ kepada umat manusia akan makna kemerdekaan yang seharusnya diraih sejak Islam diturunkan sebagai penyempurna agama di dunia. Setidaknya ada dua makna kemerdekaan tersebut, yakni merdeka dari penghambaan kepada selain Allah dan merdeka dari kedzaliman.

Merdeka dari penghambaan kepada selain Allah bukan hanya dimaknai sebatas pada dimensi spiritual atau ibadah mahdhoh, melainkan juga pada kehidupan publik melalui pelaksanaan ibadah ghoiru mahdhoh. Islam dengan kesempurnaannya dalam mengatur seluruh aspek kehidupan telah menuntun manusia agar meninggalkan hawa nafsunya dalam memilih aturan yang digunakan. Sebab Allah mewajibkan manusia menggunakan aturan-Nya semata sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an surah asy-Syura ayat (21):

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak Allah izinkan?”

Implikasinya, pembuatan aturan yang masih mempertimbangkan halal-haram dengan kemashalatan berdasarkan hawa nafsu manusia merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT. Sebab, hal inilah yang menjadikan umat manusia hidup terkungkung kejahiliyahan sebagaimana kondisi sebelum Islam diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Saat itu penghambaan manusia masih disematkan pada Illah yang bathil, baik pada sesama manusia termasuk aturannya, maupun pada benda-benda yang tak layak disembah dengan keterbatasan kemampuannya.

Karenanya, dengan terwujudnya kemerdekaan melalui penghambaan yang semata ditujukan kepada Allah SWT, dari sinilah nantinya akan terwujud kemerdekaan dari berbagai kedzaliman.

Merdeka dari kedzaliman secara sederhana dapat dimaknai sebagai konsekuensi logis yang didapatkan saat manusia mampu menempatkan dirinya secara benar sesuai dengan fitrah penciptaanya yakni sebagai makhluk Allah SWT. Marilah sejenak merenungkan firman Allah SWT ini!

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (TQS al-A’raf [7]: 96).

Ayat ini sudah sepatutnya menghantarkan bangsa ini pada sebuah kontemplasi akan makna kemerdekaan sejati. Bukankah telah terlalu lama bangsa ini terkungkung dalam jeratan penderitaan tiada henti? Bukankah telah terlalu lama bangsa ini berdemokrasi namun tak kunjung menyelesaikan masalah yang terus hadir bertubi-tubi? Bukankah telah terlalu lama bangsa ini merestui sekulerisasi dan liberalisasi yang nyatanya justru terus mendorong pada kekacauan negeri?

Mungkin tak ada salahnya jika saat ini mulai melirik dan kembali pada jalan kehidupan bangsa yang hakiki. Yakni kembali kepada jalan titahnya Rabb Ilahi, meniti jalan Islam Kaaffah yang diridhoi.

Wallahua’lam bishshawwab. []

(Red LPM UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *